Hampir dua pertiga warga Eropa kini menganggap Rusia sebagai musuh sejak invasinya ke Ukraina, menurut survei European Council on Foreign Relations. Angka itu dua kali lipat data tahun 2021.
Responden juga diberi pertanyaan tentang masa depan hubungan Eropa dengan Moskow. Sekitar separuhnya ingin hubungan itu dibatasi, meski ada variasi.
Pawel Zerka, analis utama opini masyarakat Eropa di European Council on Foreign Relations, mengatakan, “Ada negara-negara seperti Polandia, di mana terdapat kecenderungan yang sangat kuat untuk memutus semua hubungan dengan Rusia, bahkan jika tercapai negosiasi damai. Tapi ada negara-negara seperti Bulgaria, atau Hungaria, atau Austria, juga Jerman, di mana terdapat kecenderungan yang cukup kuat untuk membangun kembali semua hubungan kerja sama dengan Rusia setelah perang usai.”
Beberapa pemimpin Eropa, terutama Presiden Prancis Emmanuel Macron, telah mengimbau Eropa untuk mengembangkan ‘otonomi strategis’, yaitu kemampuan untuk mempertahankan diri tanpa Amerika Serikat.
Hampir tiga perempat responden survei mengatakan Eropa tidak boleh selalu mengandalkan AS untuk keamanannya.
Kembali, Pawel Zerka, “Tentu saja Anda dapat menafsirkannya sebagai tanda bahwa orang Eropa tidak terlalu mempercayai orang Amerika seperti sebelumnya dalam sejarah. Dan dalam hal ini, mungkin kepresidenan Donald Trump telah meninggalkan kerusakan yang abadi terhadap hubungan tersebut. Tapi Anda juga bisa mempunyai penafsiran yang lebih bijak, di mana – sesederhana akibat perang di Ukraina dan invasi Rusia di Ukraina – orang Eropa sekarang lebih siap untuk bertanggung jawab atas keamanan mereka sendiri.”
Jajak pendapat itu juga mengamati sikap orang Eropa terhadap China.
Zerka mengatakan, “Sebagian besar orang masih cenderung menganggap China sebagai mitra, ketimbang pesaing atau musuh Eropa, meskipun mayoritas besar responden di setiap negara yang kami survei menganggap China sebagai sekutu Rusia.”
Dalam upacara pembukaan Forum Perdamaian Dunia ke-11 di Tsinghua University, hari Minggu (2/7), Wakil Presiden China Han Zheng mengatakan bahwa negaranya bersedia “menjunjung tinggi multilateralisme sejati.”
“Globalisasi ekonomi adalah tren sejarah yang tak terbendung, dan tidak ada kekuatan yang dapat membalikkannya. Apalagi dalam situasi saat ini, di mana momentum pemulihan ekonomi global tidak mencukupi, keterbukaan dan kerja sama sangat dibutuhkan oleh negara-negara di dunia. Tidak ada jalan keluar bagi unilateralisme dan proteksionisme. Yang disebut sebagai de-risking (penghilangan risiko, red.) dan penolakan kerja sama adalah risiko paling besar. China bersedia bekerja sama dengan negara-negara di seluruh dunia untuk mempraktikkan dan menegakkan multilateralisme sejati,” ujar Han.
Meski demikian, mayoritas menentang gagasan kepemilikan China atas infrastruktur penting.
Sekitar 41 persen responden mengatakan, jika Beijing memberi persenjataan kepada Rusia, Uni Eropa harus menjatuhkan sanksi terhadap Beijing – bahkan jika itu berpotensi merugikan perekonomian Barat. [rd/jm]
Forum