Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan menyebutkan upaya vaksinasi untuk mencapai kekebalan kelompok, yang menjadi target utama Presiden Joko Widodo, bisa terhambat Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 10/2021 Pasal 6 Ayat 3 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi. Peraturan ini mewajibkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai syarat mengikuti program vaksinasi.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi menjelaskan bagi masyarakat adat yang tinggal di pedalaman atau pulau terluar, kewajiban memiliki NIK menjadi sandungan signifikan untuk bisa menjangkau program vaksinasi pemerintah. Dia menegaskan akses vaksinasi COVID-19 harus diperluas dan diprioritaskan bagi yang benar-benar membutuhkan.
“Pemerintah perlu mengambil langkah diskresi karena ini adalah masalah nyawa warga negara, bukan sekedar pilkada, pileg atau pilpres, bagi kami masyarakat adat mengurus NIK di masa normal saja susah apalagi di masa pandemi ini,” kata Rukka Sombolinggi kepada VOA dalam pernyataan yang direkam, Jumat (30/7).
AMAN memperkirakan ada 40-70 juta jiwa masyarakat adat tersebar di Indonesia, 20 juta jiwa dari mereka telah menjadi anggota AMAN. Dari jumlah tersebut, dalam data AMAN, per 21 Juli 2021, baru 468.963 orang yang mendaftarkan diri untuk vaksinasi; dan sekitar 20 ribu dari mereka sudah mendapatkan vaksinasi tahap pertama.
Peningkatan angka positif COVID-19 Masyarakat Adat yang cukup signifikan, menurut AMAN, terjadi di kawasan Aru Kayau, Kalimantan Utara; Lamandau, Kalimantan Tengah; Tana Toraja dan Toraja Utara, Sulawesi Selatan; Sigi, Sulawesi Tengah; dan Kepulauan Aru, Maluku.
“Untuk detail jumlah yang positifnya belum ada karena test and tracing tidak berjalan baik di sana,” kata Rukka.
Kelompok Marginal Berisiko Tidak Tersentuh Akses Vaksinasi
Dalam siaran Pers yang diterima VOA, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan menegaskan persyaratan NIK untuk vaksin juga menjadi persoalan bagi kelompok-kelompok rentan . Koalisi itu menyebutkan, petani, lansia, buruh, transpuan, tunawisma, misalnya, kerap tidak memiliki NIK.
Jika keberadaan KTP dijadikan persyaratan vaksin, menurut koalisi tersebut, kelompok marjinal akan mengalami risiko tak memiliki akses ke vaksinasi dan ini membahayakan keseluruhan upaya penanganan pandemi. Sebagian masyarakat adat dan kelompok rentan saat ii saja tidak memiliki akses layanan kesehatan yang memadai. Penyebabnya beragam mulai dari lokasi tinggal yang terlalu jauh dari fasilitas kesehatan, ketiadaan infrastruktur, atau adanya keterbatasan fisik.
Buyung Ridwan Tanjung dari Organisasi Harapan Nusantara (OHANA), mendesak adanya sosialisasi terkait prosedur apa yang harus dilakukan para penyandang disabilitas, atau kelompok marjinal lain yang tidak memiliki NIK, untuk bisa mendapatkan vaksin.
“Sebelum vaksin massal diberikan kepada kelompok disabilitas, perlu dilakukan sosialisasi tentang pentingnya vaksin. Masih banyak juga yang menolak vaksin karena ketidaktahuan dan disinformasi,” kata Buyung.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akses Vaksinasi bagi Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan tersebut mendorong kebijakan bagi masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani, buruh dan kelompok anak tanpa akta kelahiran agar mendapatkan vaksin tanpa syarat NIK. Koalisi ini menyadari bahwa NIK adalah tertib administrasi yang dibutuhkan, namun mengingat gentingnya situasi pandemi, Koalisi mendesak pemerintah untuk membuat terobosan.
Koalisi itu juga mendorong agar surat keterangan dari ketua adat, RT/RW, kepala desa, atau organisasi yang menaungi sebagai pengganti NIK dan dikukuhkan lewat surat edaran kementerian terkait.
Koalisi itu beranggotakan sejumlah organisasi masyarakat yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Organisasi Harapan Nusantara, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Filantropi Indonesia, dan Perkumpulan Keluarga Berencana Nasional (PKBI). [yl/ab]