Desakan agar perdebatan soal sistem proporsional terbuka dan tertutup dalam pemilihan legislatif tidak dilanjutkan, disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat Feri Amsari.
“Alasannya sangat sederhana. Sekarang tahapan sudah berlangsung. Aneh rasanya kalau kita dalam konteks profesionalitas penyelenggaraan pemilu, masih ragu dan memperdebatkan sistem mana yang paling layak untuk dilaksanakan,” ujarnya dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (22/2).
Sejumlah pihak, dimotori oleh politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saat ini sedang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mempertanyakan penggunaan sistem proporsional terbuka dengan sejumlah alasan seperti proses lebih rumit dan biaya tinggi. PDIP sendiri cenderung setuju dengan sistem proporsional tertutup, sementara seluruh partai lain telah menyatakan lebih memilih sistem proporsional terbuka.
“Sepanjang ingatan saya yang cukup pendek, dalam kajian-kajian kepemiluan, jarang negara yang sudah masuk tahapan pemilu yang modern, kemudian mengubah sistem pemilunya, di saat tahapan pemilu berlangsung,” tambahnya.
Upaya untuk mengubah sistem pemilu di tengah jalan sebenarnya bisa menjadi indikasi adanya rekayasa kecurangan pemilu. Alasannya, perubahan itu akan memaksa peserta pemilu dan pemilih untuk menyelenggarakan sistem tanpa persiapan yang matang.
Mahkamah Konstitusi juga harus merespons ini dengan mengakhiri perdebatan dan menghormati putusan-putusan lembaga itu sebelumnya yang sudah memastikan sistem pemilu yang dipakai.
Dalam kacamata konstitusional, lanjut Feri, sistem proporsional terbuka lebih meletakkan landasan daulat kepada publik atau pemilih. Sementara sistem proporsional tertutup meletakkan daulat penentuan siapa yang akan duduk di kursi parlemen, kepada ketua umum partai atau kepada elit partai. Dua perbedaan ini menjadi sangat problematik.
“Kalau dibahas aspek konstitusionalnya, maka sudah bisa dipastikan sistem proporsional tertutup tidak mendekati prinsip-prinsip konstitusional dalam penyelenggaraan pemilu,” kata Feri.
Feri juga mengingatkan, salah satu asas pemilu adalah langsung yang bermakna pemilih memilih langsung siapa yang akan mewakilinya di parlemen.
“Agar rakyat yang berdaulat bisa menentukan siapa representasinya, maka dia harus langsung menentukan itu. Tidak diwakilkan kepada ketua umum partai untuk menentukan siapa yang duduk mewakili mereka,” tandasnya.
Dia juga menyebut, banyak negara memiliki sistem pemilu yang rumit, misalnya Amerika Serikat. Namun, sampai saat ini sistem rumit itu tetap diterapkan, meski menuai banyak kritik.
Perubahan Bisa Dilakukan
Dekan Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Islam Internasional Indonesia, Philips Jusario Vermonte menyebut sistem pemilu bisa dipilih berdasar risiko-risiko yang menyertainya.
“Tidak ada sistem pemilu yang paling sempurna karena semua ada persoalan-persoalan,” ujarnya.
Karena tidak ada yang sempurna itulah, Philips dalam konteks ini membuka kesempatan adanya perubahan sistem.
“Cuma, memang ini yang mungkin missing dalam pembicaraan mengenai perubahan sistem pemilu. Seharusnya perubahan sistem pemilu itu dikunci dengan pasal bahwa ini akan berlaku dalam pemilu berikutnya, sehingga kita memastikan bahwa bukan pemilu yang lagi berjalan,” ujarnya memberi alasan.
Dengan mengunci keputusan bahwa perubahan sistem pemilu berlaku lima atau sepuluh tahun ke depan, maka bisa dipastikan perubahan itu tidak didasarkan pada kepentingan politik saat ini. Perubahan itu, lanjut Philips, memang dilakukan karena pertimbangan-pertimbangan bahwa sistem pemilu yang baru itu dibutuhkan dan lebih baik.
Penentuan perubahan sistem untuk pemilu lima atau sepuluh tahun lagi itu juga menghilangkan kekhawatiran banyak pihak bahwa usulan perubahan sistem pemilu merupakan bagian dari skenario politik tertentu.
Selain itu, jika perubahan sistem ditujukan untuk Pemilu 2024, Philips menilai risiko politiknya tinggi. Bukan tidak mungkin jika pertimbangan politis jangka pendek ini dipakai, perubahan akan kembali terjadi pada Pemilu 2029 dan pemilu-pemilu selanjutnya.
“Dan itu kan sangat merepotkan bagi kita,” ujar Philips.
Selain itu, penerapan perubahan untuk pemilu berikutnya juga harus dilakukan dengan tujuan lebih mendasar.
“Kalau itu yang dipilih jalannya, maka kita bisa yakin bahwa pengubahan sistem pemilu itu dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang memang ditujukan untuk memperkuat, govern ability dan representativeness sekaligus,” paparnya.
Tak Ada Alternatif bagi MK
Pakar Hukum Tata Negara Dr Atang Irawan juga menandaskan bahwa konstitusi Indonesia sebenarnya lebih memberi ruang pada sistem proporsional terbuka.
“Kalau kita melihat secara sistematis bahwa konstitusi kita itu sesungguhnya tidak memilih partai dalam konteks kontestasi politik,” ujarnya.
Karena itulah, dalam pilpres pemilih langsung memilih calon presiden dan calon wakil presiden, demikian pula dalam pemilihan kepala daerah. Tidak ada sistem yang diterapkan, di mana pemilih mencoblos partai, dan menyerahkan pilihan akhirnya pada partai itu untuk menentukan siapa presiden atau kepala daerah terpillih.
Sejumlah pasal dalam UUD 1945, kata Atang, juga cenderung memberikan ruang untuk sistem konstitusional terbuka, bukan tertutup.
“Pasal 22e Ayat 2 juga mengatakan bahwa yang dipilih itu anggota DPR dan anggota DPRD, bukan partai politik,” kata Atang memberi contoh.
Karena itulah, Mahkamah Konstitusi yang saat ini masih menyidangkan perkara uji materi terkait sistem pemilu ini dinilai Atang secara konstitusional relatif susah melakukan orkestrasi terhadap putusannya.
Jika itu dilakukan MK, dan terjadi perubahan sistem pemilihan menjadi tertutup, Atang menilai akan ada kemungkinan terjadi turbulensi politik, melihat besarnya penolakan publik.
“Karena memang, rangkaian konstruksi berpikir konstitusi kita, itu lebih dekat dengan proporsional terbuka,” kata dia lagi. [ns/ab]
Forum