Gelombang penolakan RUU Kesehatan terus berdatangan. Kali ini 32 organisasi yang tergabung dalam koalisi perlindungan masyarakat dari produk zat adiktif tembakau menyatakan sikap tegas untuk menolak RUU Kesehatan yang dibuat dengan metode omnibus law.
Koalisi masyarakat sipil menyoalkan tak adanya aturan pembatasan iklan, promosi, dan sponsor rokok dalam pasal utama di RUU Kesehatan. Padahal peningkatan konsumsi rokok pada kaum muda dan anak di Indonesia semakin mengkhawatirkan.
Berdasarkan data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2021 menunjukkan 19,2 persen pelajar usia 13-15 tahun sudah aktif merokok.
“Draf RUU Kesehatan tidak adanya pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok. Akhirnya kami menilai industri rokok kian bebas mengiklankan dan mempromosikan produknya,” kata Project Manager Indonesia Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Ni Made Shellasih, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (15/6).
Kemudian, Shella menilai Indonesia sangat terbelakang dalam penanganan penanggulangan peningkatan konsumsi zat adiktif, terutama untuk rokok. Tak ada aturan soal pembatasan iklan, promosi, dan sponsor dalam RUU Kesehatan dinilai berpotensi mengaburkan dampak negatif rokok itu sendiri.
“Selain menjerat kaum muda untuk menjadi perokok. Ini juga dapat melemahkan daya kritis kaum muda terhadap bahaya konsumsi rokok itu sendiri,” ujar Shella.
Pembahasan RUU Kesehatan Dinilai Tergesa-gesa
Saat ini RUU Kesehatan telah disetujui sebagai inisiatif DPR dalam rapat paripurna ke-16 masa persidangan III tahun sidang 2022-2023 pada 14 Februari 2023. Tim panitia kerja yang terdiri dari 27 orang dari unsur pimpinan dan anggota Komisi IX DPR RI juga telah dibentuk. Namun pembahasan itu dinilai tertutup dan tergesa-gesa.
“Kami menilai pemerintah belum cukup tegas membawa substansi krusial dalam isu pengendalian tembakau terutama dalam RUU Kesehatan ini. Kami mendorong pengesahan RUU Kesehatan harus ditunda hingga pemerintah dan DPR berkomitmen melakukan proses perancangan dan pembahasan yang memenuhi prinsip keterbukaan, kejujuran, kemanusiaan, dan keadilan,” ucap Shella.
Hal senada juga disampaikan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Julius Ibrani. Menurutnya, RUU Kesehatan merupakan proses pembentukan kebijakan dengan upaya jahat, penuh tipu daya, dan merugikan masyarakat.
Pasalnya, RUU Kesehatan tidak mengakomodasi kebutuhan hak atas kesehatan publik, termasuk pengendalian tembakau yang ketat seperti larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok.
“Ini seharusnya namanya bukan RUU Kesehatan. Tapi RUU Industrialisasi Kesehatan karena minus pengendalian tembakau di dalamnya,” ucapnya.
Memang di dalam RUU Kesehatan lebih banyak pasal-pasal yang mengemukakan soal kuratif dengan dukungan industri kesehatan. Namun pasal-pasal di dalam RUU Kesehatan juga mengutamakan investasi daripada kebutuhan dasar rakyat yang seharusnya menjadi prioritas.
Sementara itu Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Hasbullah Thabrany, meminta pemerintah agar tidak memaksakan untuk mengesahkan RUU Kesehatan. Apalagi undang-undang tersebut nantinya tidak memberikan perlindungan yang jelas bagi masyarakat terutama terkait zat adiktif.
“Kami minta supaya pemerintah dan DPR membuat aturan-aturan yang melindungi rakyat banyak. Bukan melindungi industri rokok,” ujarnya.
Minimnya pelibatan partisipasi publik dalam tahap penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan berpotensi menghilangkan kewajiban negara dalam perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan publik yang merupakan amanah konstitusi. Koalisi masyarakat sipil pun sepakat untuk menolak RUU Kesehatan. RUU Kesehatan harus diproses ulang dengan partisipasi masyarakat yang bermakna dan mengakomodasi kepentingan publik untuk hak atas kesehatan. [aa/em]
Forum