Sepuluh negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nations/ASEAN) menyikapi kudeta di Myanmar yang terjadi pada Senin (1/2) secara berbeda.
Ada yang menyampaikan keprihatinan dan meminta semua pihak menahan diri. Namun, ada pula yang menjaga jarak dan memilih untuk menunggu perkembangan situasi.
Filipina, Kamboja dan Thailand memandang kudeta di Myanmar sebagai masalah dalam negeri dan tidak mengomentari lebih jauh, padahal ketiganya pernah mengalami kudeta militer dan merasakan perjuangan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis.
Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin Jr., Senin (1/2), mengatakan “memantau” perkembangan situasi di Myanmar pasca penangkapan sejumlah pemimpin sipil, termasuk pemimpin de facto Aung San Suu Kyi. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen dan Wakil Perdana Menteri Thailand Prawit Wongsuwan juga menyampaikan pernyataan senada.
Sebaliknya Indonesia, Singapura, dan Malaysia menyampaikan keprihatinan mendalam, menyerukan agar semua pihak menahan diri dan berupaya mencapai solusi damai. Sementara Vietnam, Brunei Darussalam, dan Laos belum mengeluarkan pernyataan apa pun.
Negara-negara anggota ASEAN tampaknya terbelenggu dengan prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri. Mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan konsensus bersama juga pada akhirnya membuat masing-masing negara anggota menyatakan sikapnya sendiri-sendiri.
Bisa Dipahami
Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, mengatakan memahami sikap ASEAN ini karena memang sudah sesuai dengan Piagam ASEAN Pasal 2 Ayat 2 huruf e.
“Negara-negara seperti Amerika dan Inggris akan mengecam tindakan pemerintahan kudeta karena peralihan kekuasaan tidak dilakukan secara demokratis,” ujar Hikmahanto melalui pesan teks.
Namun, kata Hikmahanto, negara seperti Indonesia tidak perlu membuat pernyataan apa pun yang bisa dipersepsi oleh pemerintahan yang mengkudeta sebagai campur tangan. Indonesia cukup mengamati perkembangan di Myanmar dan memberi peringatan mengenai situasi di negara itu baik kepada warga Indonesia tinggal di sana maupun yang akan bepergian.
“Kudeta adalah proses pengambilalihan pemerintahan yang sifatnya inkonstitusional, tetapi Indonesia tidak bisa turut campur tangan dalam urusan dalam negeri Myanmar,” ujarnya.
Beragam Mekanisme
Diwawancarai secara terpisah pakar ASEAN, Dr. Dinna Prapto Raharja, menyoroti prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota.
Menurut Dinna, prinsip itu sering sekali disalahartikan dengan tidak berbuat apa-apa dan lembek pada pelanggar ketentuan-ketentuan ASEAN, padahal ada beragam mekanisme untuk menjamin kerahasiaan perundingan antar negara anggota.
“Adalah suatu hal yang sangat disayangkan jika Indonesia tidak memanfaatkan momentum ini untuk mengajak ASEAN, mengingat identitas bersama itu pernah mendorong sesama negara anggota untuk saling mendengar dan bukannya saling menutup telinga,” paparnya
“Semua statement pasti ada konsekuensinya, baik positif maupun negatif. Yang penting adalah intensinya dan follow up-nya,” ujar Dinna,mantan utusan Indonesia di ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights.
Melihat komposisi kepemimpinan dan kepentingan masing-masing negara anggota ASEAN, Dinna Wishu menilai akan sulit tercapai karena akan membutuhkan waktu untuk mencapai konsesus. Oleh karena itu, tak heran jika negara anggota memilih menyikapinya secara terpisah.
Ia memuji pernyataan awal Kementerian Luar Negeri yang meminta semua pihak di Myanmar untuk menahan diri dan mengedepankan dialog.
“Myanmar itu masih mau mendengar Indonesia, tetapi kalau cara penyampaiannya seakan 'public relations campaign' untuk kepentingan sesaat, sudah pasti akan ditolak,” paparnya.
Di sini lah, imbuh Dinna, dibutuhkan komitmen Kepala Negara Indonesia untuk menjembatani upaya diplomasi di tataran prosedural dan teknis untuk berkembang.
“Ada sejumlah cara diplomatis untuk membuat pernyataan dan diterima secara positif,” katanya.
Bukan pertama kalinya ASEAN dikritik karena isu terkait Myanmar. Sebelumnya beberapa kelompok HAM juga mengecam blok negara di Asia Tenggara itu karena tidak menyikapi aksi kekerasan militer Myanmar terhadap kelompok minoritas Muslim-Rohingya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan bahkan Amerika menggambarkan tindakan militer Myanmar itu sebagai “contoh langsung pemusnahan etnis.” [em/ft]