Taliban, Rabu (14/8) merayakan tiga tahun kembalinya mereka ke kekuasaan di sebuah bekas pangkalan udara AS di Afghanistan. Dalam perayaan tersebut, sama sekali tidak disebut-sebut kesulitan yang dihadapi negara itu maupun harapan yang dijanjikan bagi rakyatnya yang menghadapi kesulitan.
Pemimpin tertinggi Hibatullah Akhundzada tidak hadir dalam perayaan di Bagram, yang pernah menjadi pusat perang Amerika untuk menggulingkan Taliban dan memburu para anggota al-Qaida yang terlibat serangan 11 September 2001. Sementara itu, perempuan dilarang menghadirinya.
Kaum perempuan Afghanistan sejauh ini memang masih menghadapi berbagai pembatasan ketat.
Kepala Kantor Entitas PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) untuk Afghanistan, Alison Davidian memberi pengarahan mengenai profil gender Afghanistan 2024 melalui telekonferensi dari Kabul, Selasa (13/8).
Mengenai laporan UN Women itu, Davidian mengemukakan, “Sekarang ini, tidak ada perempuan di Afghanistan yang memiliki posisi kepemimpinan di mana pun yang memiliki pengaruh secara politik, baik di tingkat nasional maupun provinsi.
Ketika perempuan dilibatkan dalam struktur Taliban, peran mereka kebanyakan adalah memantau kepatuhan perempuan lain terhadap keputusan terhadap mereka yang sifatnya diskriminatif. Penghapusan peran politik ini benar-benar tercermin di tingkat sosial.”
Davidian menambahkan, seorang perempuan di Afghanistan secara teknis dapat mencalonkan diri sebagai presiden tiga tahun silam. Tetapi sekarang ini, perempuan Afghanistan bahkan mungkin tidak dapat memutuskan kapan harus pergi dan membeli bahan makanan.
“Restriksi oleh Taliban terhadap perempuan dewasa dan anak-anak akan memengaruhi generasi yang akan datang,” jelasnya.
Ia mengatakan, berbagai analisis menunjukkan bahwa pada 2026, dampak restriksi yang membuat 1,1 juta anak perempuan putus sekolah dan 100 ribu perempuan tidak melanjutkan pendidikan ke universitas berkorelasi dengan meningkatnya kehamilan dini sebanyak 45 persen dan angka kematian ibu hingga 50 persen.
Davidian juga mengemukakan bahwa dunia sekarang ini sedang mengamati apa yang terjadi pada kaum perempuan Afghanistan. Menurutnya, dalam beberapa kasus ada yang mengamati untuk mengutuknya, tetapi ada juga yang mengamati untuk meniru penindasan sistematis Taliban.
“Kita tidak dapat membiarkan perempuan Afghanistan berjuang sendirian. Jika kita melakukannya, kita tidak punya landasan moral untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di tempat lain. Nasib mereka menentukan nasib kaum perempuan di mana-mana,” lanjut Davidian.
Badan-badan bantuan memperingatkan bahwa berbagai upaya kemanusiaan di negara itu sangat kekurangan dana sementara ekonomi Afghanistan runtuh dan perubahan iklim menghancurkan mata pencaharian rakyatnya. Mereka juga mengatakan bahwa rakyat Afghanistan, terutama perempuan dewasa maupun anak-anak, akan menderita jika tidak ada lebih banyak lagi dialog diplomatik dengan Taliban. Sejauh ini belum ada negara yang mengakui Taliban sebagai pemerintah sah Afghanistan. [uh/jm]
Forum