Ulama Islam dari seluruh dunia memulai konferensi dua hari di Arab Saudi, Selasa (10/7), untuk membahas perang di Afghanistan dan mendesak pemberontak Taliban agar mengupayakan penyelesaian melalui perundingan perdamaian.
Tetapi Taliban beberapa jam sebelum pertemuan itu mengeluarkan pernyataan yang memperingatkan partisipan agar tidak menyebut pemberontakannya dengan istilah apapun selain jihad melawan Amerika yang menyerbu Afghanistan.
Taliban menegaskan bahwa konflik yang masih terus berlangsung itu bukan “pertempuran antar warga Afghanistan atau pertempuran di kalangan Muslim,” dan menuding invasi Afghanistan di bawah pimpinan Amerika pada tahun 2001 yang mengawali konflik tersebut.
Taliban kemudian mendesak pihak berwenang Saudi dan para ulama agar tidak memihak “penyerbu Amerika” dalam apa yang disebutnya sebagai perang antara umat Islam dan golongan kafir, seraya menyatakan upaya tersebut tidak dapat mengubah sifat perselisihan di Afghanistan dan “jihad yang sah.”
Pernyataan itu juga mengklaim bahwa Taliban telah meluaskan kontrolnya ke lebih dari 70 persen wilayah Afghanistan dan akan terus berjuang hingga sistem Islami yang independen dapat diterapkan di negara itu.
Pemberontak Islamis itu mengesampingkan pertemuan hari Selasa di Saudi dan keputusan yang dikeluarkan dalam pertemuan-pertemuan ulama Muslim semacam itu sebelumnya, termasuk yang berlangsung di Indonesia, dan menyebutnya sebagai rencana Amerika untuk menjustifikasikan pendudukan militernya terhadap Afghanistan dan upaya melegitimasi rezim Kabul yang menjadi anteknya.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani telah menawarkan pembicaraan perdamaian tanpa syarat kepada Taliban dan menyatakan gencatan senjata sementara sepihak terhadap pemberontak bulan lalu selama perayaan Idul Fitri guna mendorong perundingan untuk mengakhiri perang. [uh]