Tautan-tautan Akses

Taliban Tepis Keprihatinan Pemerintah Afghanistan soal Perjanjian Damai dengan AS


Perwakilan Taliban-Afghanistan dalam perundingan damai dengan AS di Doha, Qatar.
Perwakilan Taliban-Afghanistan dalam perundingan damai dengan AS di Doha, Qatar.

Dengan masih belum disepakatinya rancangan perjanjian damai antara Amerika dan Taliban-Afghanistan dalam perundingan yang sudah berlangsung selama 10 bulan ini, kelompok pemberontak itu mendorong kampanye media baru dengan membual tentang apa yang digambarkan sebagai “keberhasilan” pemerintahan Islam yang tangguh itu di masa lalu.

Taliban kerap dikecam karena kepemimpinannya yang brutal dan strategi aksi kekerasan ketika berkuasa di Afghanistan antara tahun 1996-2001. Ketika itu Taliban melarang seluruh perempuan dan anak perempuan untuk mengakses pendidikan dan memberlakukan aturan hukum yang keras atas kehidupan sehari-hari, termasuk melarang siaran televisi.

Kelompok itu hampir menandatangani perjanjian perdamaian dengan Amerika, yang diharapkan dapat mengakhiri perang di Afghanistan yang sudah berlangsung selama 18 tahun dan ditariknya seluruh pasukan Amerika dan koalisi selambat-lambatnya pada akhir tahun 2020; dan Taliban kini mengkaji kembali posisinya.

“Taliban memprioritaskan kebebasan dan kemakmuran negaranya dan orang-orang yang tertindas,” demikian petikan pernyataan Taliban yang dirilis hari Senin (26/8) merujuk pada pemerintahannya pada 1990an di Kabul yang kontroversial.

Berdasarkan rancangan perjanjian perdamaian antara Amerika dan Taliban, kelompok itu akan terikat untuk tidak membiarkan Al-Qaida dan kelompok-kelompok militan trans-nasional lainnya melakukan aksi teroris internasional di luar Afghanistan. Tetapi wakil-wakil Amerika dalam perundingan mengatakan hal itu tidak berarti Amerika mempertimbangkan untuk tidak lagi mendukung pemerintah Afghanistan dan pasukan keamanannya.

Koalisi militer pimpinan Amerika menggulingkan Taliban pada akhir tahun 2001 karena melindungi para pemimpin Al Qaida yang dituding merencanakan serangan teroris yang menelan ribuan korban jiwa di Amerika pada 11 September.

Kelompok Islamis itu kemudian mengatur kembali barisannya dan melancarkan pemberontakan terhadap penguasa Afghanistan yang didukung Amerika. Menurut kajian militer Amerika, Taliban saat ini menguasai atau memperebutkan hampir separuh dari 407 distrik di Afghanistan.

Pemerintah Afghanistan, yang telah dikecualikan dalam perundingan Amerika-Taliban, memperingatkan bahwa pihaknya tidak akan menerima perjanjian perdamaian yang dapat merusak sistem pemerintahannya saat ini dan manfaat yang diraih dari sistem tersebut, terutama dalam hal HAM dan kebebasan bagi kaum perempuan. Jika pasukan asing ditarik dari negara itu, hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Afghanistan dapat kembali ke era perang saudara tahun 1990an.

Dalam pernyataan hari Senin (26/8), Taliban menepis keprihatinan itu sebagai propaganda pejabat-pejabat Afghanistan untuk memperpanjang kekuasaan mereka. Kelompok pemberontak itu menolak keberadaan pemerintahan di Kabul dan menilainya sebagai pemerintahan yang tidak sah dan boneka Amerika, serta menolak terlibat dalam proses perdamaian.

Para pembantu Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengatakan perjanjian antara Amerika dan Taliban itu harus disampaikan kepadanya sebelum ditandatangani. Mereka berkeras perjanjian apapun harus mendorong berlangsungnya gencatan senjata dan perundingan perdamaian langsung antara pemerintah dan kelompok pemberontak. Dalam wawancara di televisi minggu lalu, Ghani bertekad “menyelamatkan sistem itu dengan cara apapun juga.” (em/jm)

Recommended

XS
SM
MD
LG