Uni Eropa dan Turki berusaha merampungkan rincian kesepakatan yang dicapai pekan ini untuk menghentikan arus migran dari Turki ke Yunani. Lebih dari 100 ribu orang telah berhasil mencapai Yunani sejauh ini, menyusul ratusan ribu orang sebelumnya pada 2015.
Kesepakatan yang dicapai di Brussels ini akan memungkinkan migran yang sampai di Yunani dideportasi kembali ke Turki. Reporter VOA Henry Ridgwell mengunjungi sebuah kamp pengungsi sementara di Athena dan menanyai sejumlah pengungsi mengenai tanggapan mereka terhadap kesepakatan itu.
Di bandara tua yang sudah tidak digunakan, para pendatang baru tiba bukan dengan pesawat melainkan dengan perahu, setelah menempuh perjalanan dari Turki ke kepulauan Yunani dan akhirnya ke ibukota, Athena.
Bandara itu kini menjadi kamp pengungsi yang menampung 1.900 migran. Mesin-mesin ban berjalan yang biasanya mengangkut koper, dan tangga-tangga naik pesawat kini menjadi arena bermain ratusan anak yang tinggal di sana.
Seperti kebanyakan migran yang tinggal di bandara itu, Farahnaz Alizade berasal dari Afghanistan. Ketika ditanya bagaimana kondisi di kamp pengungsi itu, ia menangis.
"Tolong buka pintu perbatasan. Biarkan kami pergi dari sini. Kami tidak bisa tinggal di sini. Tempat ini sangat buruk. Karena kami tinggal di sini, kami tahu itu. Anda kan tidak tinggal di sini. Kami lari menjauhi perang. Anda pikir negara kami aman? Saya tidak tahu mengapa. Saya tidak tahu," kata Farahnaz Alizade.
Program relokasi pengungsi yang dibahas Uni Eropa ituditujukan bagi para pengungsi dari Suriah. Nasib para pengungsi dari negara-negara lain belum diputuskan. Bagian dari kesepakatan yang digagas oleh Uni Eropa dengan Ankara menuntut agar para migranyang kini berada di Yunani dikirim pulang ke Turki.
Alizade menangis menanggapi informasi itu. "Tidak. Tidak. Kami tidak akan kembali ke Turki. Kondisi di Turki sangat buruk, lebih buruk dari di sini," jelasnya.
Para pengungsi, tanpa memperhitungkan negara asal mereka, ditempatkan dalam tiga bangunan terpisah yang terletak di seberang bandara yang sudah tidak terpakai dan lapangan Olimpiade yang terletak di dekatnya, yang pada 2004 menjadi tempat penyelenggaraan pesta olahraga akbar itu. Banyak migran mengatakan,perbedaan kewarganegaraan sering membangkitkan kefrustasian dan memicu perkelahian.
Karena pintu-pintu perbatasan ke utara tertutup,para migran terjebak di sana. Valas Gkeka dari Badan Urusan Pengungsi PBB, yang ikut memberi bantuan di kamp itu, mengatakan 60 persen migran yang tiba di Yunani adalah perempuan dan anak.
"Lebih banyak tempat penampungan perlu didirikan di Yunani untuk memenuhi kebutuhan para pengungsi yang berdatangan dan untuk memberikan perlindungan internasional," jelas Valas Gkeka.
Bakhtair Husanghi, istrinya dan keempat anaknya yang masih kecil telah dua pekan berada di kamp itu. Mereka adalah warga etnis Kurdi dari Iran dan mengatakan merekameninggalkan negaranya untuk menghindari penindasan.
Ia mengatakan ia ingin menetap di Eropa karena orang-orangnya jauh lebih baik dan mereka tidak bisa tinggal di negara Islam.Ia menambahkan ia tidak bisa kembali ke Turki karena di sana ada pertempuran antara Turki dan Kurdi.
Berdasarkan peraturan Eropa yang normal,mereka yang menjadi korban penindasan bisa mengajukan suaka di Uni Eropa. Namun peraturan Uni Eropa kini sedang dirombak sehingga masa depan para pengungsi yang terdampar di Yunani sangat tidak jelas. [ab/lt]