Pertambangan ilegal marak di Kalimantan Timur. Masyarakat dan akademisi bergerak menolak. Semua menunggu ketegasan aparat keamanan dan kepedulian pemerintah.
Banjir beberapa tahun terakhir rutin menerjang Muang Dalam, Samarinda, Kalimantan Timur. Salah satu puncaknya, terjadi 3 September 2021. Dalam video yang viral di media sosial, nampak serpihan batu bara terbawa hingga masuk ke rumah warga. Sepuluh hari kemudian, banjir datang lagi. Keresahan merebak, dan berujung pada aksi penolakan warga terhadap praktik tambang ilegal di kawasan itu pada 25 September.
Soleh Arifin, tokoh pemuda Muang Dalam bercerita bagaimana tambang merusak hajat hidup mereka. Desa-desa di sana adalah kawasan pertanian, bahkan lumbung padi di masa lalu. Ketika aktivitas penambangan meningkat, sumber-sumber air mengering. Tanaman padi tak bisa lagi tumbuh karena sawah mengering.
“Jadi masyarakat saat ini beralih ke peternakan. Akan tetapi saat ini juga untuk mencari bahan makan ternak itu juga susah, dengan banyaknya lokasi yang terbuka menjadi aktivitas tambang,” kata Soleh.
Di wilayah lain, kondisi tak jauh jauh berbeda. Samin, Kepala Desa Suko Mulyo, Kecamatan Sebaku, Kabupaten Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur mengisahkan cerita senada. Sebagai instansi pemerintah, desa telah mengirim laporan resmi. Sepuluh instansi menerima tembusan, dari mulai camat, sejumlah dinas, bahkan kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan setempat.
Petugas berseragam pemerintah memang turun ke lapangan. Mengambil foto dan video lokasi tambang ilegal. Alat berat di lokasi yang sudah digali sejak 2020 itu disegel. Namun, beberapa hari setelah kepergian tim pemerintah, tambang beroperasi lagi.
“Karena tidak ada hukum yang tegas, jadi kegiatan tetap berjalan sampai saat ini. Kegiatan penambangan itu hanya berhenti, tatkala satu dua hari setelah ada investigasi lapangan itu,” kata Samin.
Samin heran tidak ada tindakan tegas, karena jelas tambang itu melanggar hukum, merugikan negara, meresahkan masyarakat dan merusak lingkungan. Truk-truk pengangkut batubara tetap lewat di jala-jalan desa, bahkan di depan Kantor Camar dan Polsek setempat.
Kebun Universitas Terdampak
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menggelar diskusi Selasa (26/10) petang terkait tambang ilegal di Kalimantan Timur ini. Tidak hanya berdampak pada lahan milik petani, penambang ini telah beroperasi di area-area tempat mahasiswa beraktivitas lapangan.
Salah satunya adalah di area kebun milik Fakultas Pertanian, Universitas Mulawarman. Nurul Puspita Palupi, wakil dekan di fakultas itu menyebut operasi tambang tepat berada di samping kebun percobaan mereka. Padahal, lahan seluas 17 hektar itu jelas digunakan oleh mahasiswa pertanian untuk aktivitas keilmuan.
“Apa akibatnya? Karena itu adalah aktivitas berpertanian dari mahasiswa saya untuk melakukan penelitian, melakukan praktikum di sana, ketika ada aktivitas tambang otomatis semua aktivitas yang ada juga akan terganggu,” ujarnya.
Patok kebun percobaan ini juga telah bergesar, sementara tidak mungkin bagi universitas untuk mengawasi kawasan tersebut selama 24 jam.
Delapan puluh delapan dosen yang tergabung dalam Koalisi Dosen Universitas Mulawarman telah melayangkan petisi penolakan tambang ilegal. Secara resmi, petisi itu telah diterima oleh Polres Samarinda. Para akademisi ini berharap, polisi mau bertindak tegas.
Pembiaran Dipertanyakan
Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur menyebut, kurun waktu 2018-2021 setidaknya ada 151 lokasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di provinsi itu. Jumlah itu tersebar di Kabupaten Kutai Kartanegara 107 lokasi, Kota Samarinda 29 lokasi, Kabupaten Berau 11 lokasi, dan Kabupaten Penajam Paser Utara 4 lokasi.
Pradarma Rupang dari Jatam Kaltim mempertanyakan sikap negara yang tidak seserius menanggulangi terorisme, ketika berhadapan dengan perusahaan tambang ilegal. Padahal jelas negara dirugikan oleh praktik ini. Penambang ilegal tidak membayarkan pajak, royalti ataupun iuran apapun kepada pemerintah. Mereka juga tidak mengurus perizinan.
Tambang ilegal marak, karena operasionalnya murah. Pradarma menyebut, operator hanya butuh menyewa alat berat dan membeli bahan bakarnya.
“Setelah itu, mereka akan berbagi hasil. Pemodal hanya membutuhkan sekitar Rp150 juta dan akan mendapatkan benefit Rp2 miliar sampai Rp3 miliar, dari dalam kawasan yang tidak terlalu besar, sekitar satu hektare saja, itu sudah luar biasa. Satu atau dua hektare saja,” kata Pradarma.
Pradarma menyebut, yang membuat tambang ilegal subur salah satunya adalah karena tersedianya ratusan pelabuhan kecil untuk mendukung transportasinya. Selain itu, pihak-pihak yang terlibat juga berasal dari berbagai kalangan, mulai politisi lokal di DPRD, oknum aparat keamanan hingga pejabat-pejabat lingkungan pemerintahan.
Karakter Usaha Tambang
Sebagai sebuah operasi usaha, tambang ilegal sejatinya adalah kriminalitas terorganisir. Franky Butar Butar dari Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia Universitas Airlangga, Surabaya, menyebut itu sebagai salah satu karakter organisasi ini. Selain itu, karakter lain yang dapat diidentifikasi adalah bahwa tambang ilegal melibatkan orang kaya atau berpengaruh, baik di tingkat lokal maupun nasional. Selain itu mereka juga merusak alam.
“Menarik kewenangan ijin pertambangan ke pusat, tidak berarti bahwa di daerah tambang-tambang kerusakannya akan hilang,” lanjut Franky.
Selain itu, tambang ilegal juga memiliki relasi kekuasaan, dan memegang modal politik, keuangan serta kekuasaan. Mereka mengabaikan aspek sosial dan lingkungan, dan dalam beberapa kasus, usaha pertambangan pasti berkaitan dengan aparat keamanan, terutama yang besar. Selain menghindari kewajiban pajak, perusahaan tambang juga tidak melakukan reklamasi bekas tambang.
Sementara itu, I Gusti Agung Made Wardana dari Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyebut tantangannya saat ini adalah kerja sama seluruh pihak. Masyarakat menghadapi kasus, sedangkan organisasi non-pemerintah memiliki data. Dalam kondisi ini, seringkali keduanya lupa bahwa apa yang terjadi di wilayahnya, juga terjadi di tempat lain.
“Ini bisa dijembatani teman-teman intelektual kampus untuk memproduksi pengetahuan, bahwa apa yang mereka hadapi sebenarnya dihadapi oleh banyak komunitas yang ada di seluruh dunia, sehingga akan muncul solidaritas korban,” kata Agung.
Ditambahkan Agung, intelektual harus mampu mengajak masyarakat dan organisasi non-pemerintah, untuk melawan sistem yang ada. [ns/ab]