Tautan-tautan Akses

Tangis Pengungsi Gaza di Bosnia: ‘Tidak Ada Lagi Kehidupan di Sana’


Warga Palestina memeriksa puing-puing bangunan yang hancur pasca serangan udara Israel di Deir al Balah, Jalur Gaza pada 27 Oktober 2023. (Foto: AP)
Warga Palestina memeriksa puing-puing bangunan yang hancur pasca serangan udara Israel di Deir al Balah, Jalur Gaza pada 27 Oktober 2023. (Foto: AP)

Setelah melarikan diri dari pertempuran sengit di Yugoslavia ke Gaza lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, Samir El-Barawy dari Palestina dan istrinya yang berasal dari Bosnia kini harus kembali terusir karena dampak perang Hamas dan Israel.

Rumah mereka dibombardir oleh serangan udara hanya beberapa hari setelah serangan Hamas di selatan Israel pada 7 Oktober. Tak cukup sampai di situ. Penerbangan kembali ke Bosnia dari rumahnya di utara Gaza juga diwarnai oleh bahaya.

“Saya meninggalkan segalanya, tapi saya masih hidup,” kata pria Palestina berusia 59 tahun itu kepada AFP hanya beberapa hari setelah tiba di pusat pengungsi di Salakovac, Bosnia.

El-Barawy mengatakan serangan terhadap rumahnya “seperti gempa bumi.”

Setelah serangan itu, El-Barawy dan lebih dari selusin anggota keluarga memutuskan untuk pindah ke selatan melalui jalan-jalan yang dibom dan dipenuhi korban tewas.

Rumah-rumah yang hancur akibat serangan Israel selama konflik, di kamp pengungsi Beach, Kota Gaza, 26 November 2023. (Foto: REUTERS/Abed Sabah)
Rumah-rumah yang hancur akibat serangan Israel selama konflik, di kamp pengungsi Beach, Kota Gaza, 26 November 2023. (Foto: REUTERS/Abed Sabah)

"Kami melihat mayat-mayat di sepanjang jalan, orang-orang mati di dalam mobil. Anjing-anjing berkeliaran di sekitar mayat-mayat itu. Ada bau yang sangat menyengat," kata El-Barawy.

Israel mengatakan serangan Hamas pada 7 Oktober menewaskan 1.200 orang, sebagian besar di antaranya adalah warga sipil, dan sekitar 240 orang disandera. Serangan balasan dan serangan darat Israel merenggut sekitar 15.000 nyawa, menurut pemerintah Hamas di Gaza.

Kembalinya El-Barawy ke Bosnia menandai perubahan dramatis dalam nasib keluarganya.

Warga Palestina itu pertama kali tiba di Yugoslavia beberapa dekade lalu ketika federasi sosialis menyambut mahasiswa dari seluruh dunia.

Pada 1991, ia belajar di Sarajevo ketika perang mengancam akan melanda Bosnia, menyusul pecahnya pertempuran pertama di Slovenia dan kemudian di Kroasia.

“Akan terjadi perang di sini,” kata sang ayah mertua sambil mendorong mereka untuk pergi.

Pasangan tersebut bersama putri bayi mereka, Dalila, mengikuti saran itu dan melarikan diri sebelum Sarajevo dikelilingi oleh pasukan Serbia. Perang kedua negara tersebut berlangsung bertahun-tahun dan menewaskan sekitar 100.000 orang di Bosnia.

Meskipun sering terjadi pertempuran di tengah konflik Israel-Palestina, keluarga tersebut tetap sejahtera di Gaza.

El-Barawy mengelola perkebunan stroberi yang terletak hanya "500 meter dari perbatasan Israel" dan mengekspor ribuan ton buah setiap tahunnya, termasuk ke pasar Eropa.

Orang-orang melihat jenazah warga Palestina yang tewas dalam serangan Israel, di kamar mayat Rumah Sakit Nasser, di Jalur Gaza selatan. (Foto: Reuters)
Orang-orang melihat jenazah warga Palestina yang tewas dalam serangan Israel, di kamar mayat Rumah Sakit Nasser, di Jalur Gaza selatan. (Foto: Reuters)

Mayat dan Korban Luka

Namun El-Barawy mengakui bahwa kehidupan yang dulu mereka nikmati di Gaza kini hilang selamanya.

"Kami memutuskan untuk tidak kembali ke sana lagi. Yang tersisa dari hidup saya, saya ingin hidup damai. Tidak ada lagi kehidupan di sana," ujarnya.

Hingga saat ini, 37 orang telah tiba di Bosnia dari Gaza.

Kelompok tersebut adalah bagian dari segelintir warga negara asing dan pengungsi medis yang berhasil keluar dari Gaza sejak perang meletus.

Meskipun mengalami kehancuran, Ahmed Shahin berharap untuk dapat kembali ke Gaza dan rumahnya di Jabaliya setelah perang berakhir.

Rumah-rumah yang hancur akibat serangan Israel selama konflik terletak di reruntuhan, di kamp pengungsi Beach, di Kota Gaza. (Foto: Reuters)
Rumah-rumah yang hancur akibat serangan Israel selama konflik terletak di reruntuhan, di kamp pengungsi Beach, di Kota Gaza. (Foto: Reuters)

Dokter anak berusia 55 tahun itu belajar ilmu kedokteran di Bosnia pada 1990-an dan kemudian diberikan kewarganegaraan yang memungkinkannya dievakuasi dari Gaza beberapa tahun setelahnya.

Pada masa-masa awal perang di Gaza, ia menjadi sukarelawan di rumah sakit Indonesia di wilayah utara yang terkena dampak paling parah, di mana persediaan obat-obatan mulai menipis.

“Tidak ada obat-obatan, operasi dilakukan tanpa anestesi, amputasi, dan tidak ada air untuk mencuci atau mensterilkan,” katanya kepada AFP. Ia mengatakan bahwa dia pernah melakukan operasi caesar untuk menyelamatkan bayi setelah ibunya terluka dan kemudian meninggal karena serangan cedera kepala.

Saat perang berlangsung, “masuknya mayat dan korban luka semakin meningkat,” katanya.

Tak lama kemudian, dia tidak lagi mampu mengatasi banyaknya korban jiwa dan luka-luka.

Bersama dengan istrinya, ketiga putrinya, dan putra remajanya, mereka melarikan diri ke selatan, meninggalkan makam seorang anak laki-lakinya yang lain yang tewas akibat serangan udara selama konflik sebelumnya pada 2014.

“Dunia menyaksikan secara langsung kehancuran gedung-gedung yang penuh dengan anak-anak dan perempuan, menyaksikan darah tertumpah saat cuaca masih hangat. Dan hal itu tidak menghasilkan apa-apa,” kata Shahin sambil menangis.

"Itu tidak benar,” rintihnya. [ah/rs]

Forum

XS
SM
MD
LG