Tautan-tautan Akses

Tanpa Syarat Pemberian Remisi di RUU Pemasyarakatan, Koruptor Makin Leluasa Bergerak


Para pendukung KPK berpawai dengan menggunakan kardus bergambar petugas KPK menangkap koruptor di Malang, Jawa Timur, 23 Januari 2015. (Foto: AFP/Aman Rochman)
Para pendukung KPK berpawai dengan menggunakan kardus bergambar petugas KPK menangkap koruptor di Malang, Jawa Timur, 23 Januari 2015. (Foto: AFP/Aman Rochman)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah berencana akan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan. RUU ini menuai kontroversi karena tidak memasukan pengetatan persyaratan remisi bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa, termasuk bagi napi koruptor.

Peneliti di lembaga Transparency International Indonesia (TII) Sahel Alhabsyi kepada VOA, Selasa (31/5), menilai tidak masuknya pasal mengenai pengetatan pemberian remisi terhadap narapidana kasus korupsi merupakan bagian dari upaya untuk menjadikan rasuah sebagai kejahatan biasa, bukan lagi luar biasa.

Remisi bagi koruptor, lanjutnya, akan diperlakukan sama dengan narapidana tindak pidana lain. Tidak perlu lagi harus terlebih dahulu membayar lunas denda dan uang pengganti seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM untuk mendapatkan remisi. Namun menurutnya hal ini seharusnya tidak dibiarkan.

"Karena ini mengabaikan fakta bahwa ada kekuasaan yang melandasi kejahatan korupsi. Kekuasaan yang sebenarnya diberikan untuk kepentingan publik tapi malah dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri atau pihak tertentu secara melawan hukum," kata Sahel.

Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan saat aksi mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di luar kantor KPK di Jakarta 8 Oktober 2012. Mereka mambawa spanduk bertuliskan, "Lawan koruptor". (Foto: REUTERS/Enny Nuraheni)
Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan saat aksi mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di luar kantor KPK di Jakarta 8 Oktober 2012. Mereka mambawa spanduk bertuliskan, "Lawan koruptor". (Foto: REUTERS/Enny Nuraheni)

Menurutnya, lahirnya RUU Pemasyarakatan merupakan bagian dari keberhasilan koruptor melawan balik, setelah sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan lewat revisi Undang-undang KPK.

Sahel menilai bisa jadi RUU Pemasyarakatan nantinya tidak akan memberi efek jera kepada koruptor dan bahkan memberi ruang gerak yang lebih leluasa bagi mereka, terlebih dengan adanya mekanisme pengurangan hukuman. RUU Pemasyarakatan juga tidak mengatur soal keharusan pelunasan uang denda atau pengganti sebagai syarat pengurangan hukuman atau remisi. Hilangnya syarat narapidana kasus korupsi menjadi justice collaborator – sebagai syarat mendapat remisi – maka akan menjadi kemunduran dalam pemberantasan korupsi.

Sahel memperkirakan akan banyak gugatan hukum yang dilayangkan publik kepada Mahkamah Konstitusi menyoal RUU Pemasyarakatan ini. Pemerintah dan DPR yang sedang membahas RUU Pemasyarakatan ini, tambahnya, sedianya memahami suasana kebatinan masyarakat yang sangat membenci koruptor dan menganggap korupsi sebagai kejahatan luar biasa, sehingga pelakunya harus mendapat hukuman berat.

Sebuah banner berisi ajakan kepada seluruh warga untuk melawan korupsi dipasang di tembok kantor KPK di Jakarta (foto: dok).
Sebuah banner berisi ajakan kepada seluruh warga untuk melawan korupsi dipasang di tembok kantor KPK di Jakarta (foto: dok).

Aturan Soal Remisi

Diwawancarai secara terpisah pakar hukum pidana di Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai perlu pengetatan dalam pemberian remisi terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, termasuk korupsi, yang sedianya masuk dalam ranah putusan.

"Umpamanya dihukum lima tahun (penjara) tanpa hak remisi, itu bisa. Artinya nanti lembaga pemasyarakatan akan mengikuti putusan itu karena sebenarnya lembaga pemasyarakatn itu tidak bisa mengambil keputusan. Dia kan pelaksana undang-undang, ada di wilayah ekskutif," ujar Fickar.

Sedangkan vonis atas hukuman seorang terdakwa – seperti menambah, mengurangi, atau memodifikasi hukuman – ada di ranah peradilan atau yudikatif.

Wamen Hukum & HAM Desak DPR Segera Sahkan RUU Pemasyarakatan

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej tetap yakin tidak ada persoalan dalam RUU Pemasyarakatan yang tengah dibahas bersama DPR, dan karenanya meminta agar DPR segera mengesahkannya.

Menurutnya pemerintah juga tidak mempersoalkan Mahkamah Agung yang telah mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan. [fw/em]

Tanpa Syarat Pemberian Remisi di RUU Pemasyarakatan, Koruptor Makin Leluasa Bergerak
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:48 0:00

Recommended

XS
SM
MD
LG