Sidrotun Na'im berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan sekarang sedang menyelesaikan program doktor di University of Arizona dalam bidang aquatic animal disease atau penyakit hewan air. Sidrotun merasa beruntung, sebab selama menempuh ilmu di Amerika ia ditemani anak dan suaminya.
Menurut Sidrotun di sekitar Tucson, kota tempat ia tinggal, juga ada banyak orang Indonesia, dan mereka pula yang membantunya ketika ia pertama kali tiba di sana. Mulai dari menjemputnya hingga memberikan orientasi, termasuk membawanya ke tempat-tempat belanja murah, dan tentu saja, tempat ibadah.
Terlebih lagi, Sidrotun merasa beruntung sebab ia menemukan tempat tinggal sewaan tidak jauh dari kampus dan berada tepat di belakang masjid atau Islamic Center paling besar di kota Tucson, Arizona.
“Kebetulan Tucson hanya memiliki satu Islamic Center dan kami tinggal pas di belakang Islamic Center,” kata Sidrotun.
Sehingga menurutnya Ramadhan kali ini memberikan kesan yang benar-benar berharga. Ia juga menambahkan, laju perkembangan umat Islam di Tucson tergolong sangat cepat, dari sekitar 3.000 hingga 5.000 orang pada tahun 2000, tahun ini populasi masyarakat muslim di sana sudah mencapai sekitar 11.000.
Sidrotun mengatakan, justru di Amerika ia bisa merasakan arti puasa yang sesungguhnya. Di Indonesia, selama bulan Ramadhan kebanyakan orang berpuasa, tetapi di Amerika tidak demikian. Selama Ramadhan di Amerika, ia berpuasa di tengah-tengah masyarakat yang tetap makan dan minum pada siang hari. Karena itu, ia merasakan tantangan bagaimana benar-benar harus menahan diri agar tetap berpuasa.
“Justru di luar perkiraan saya, seperti tahun lalu ketika saya pertama kali menjalankan Ramadhan di Amerika, saya bisa merasakan arti puasa yang sesungguhnya, karena kita berada di negara di mana Muslim itu minoritas, jadi kita berpuasa di tempat di mana-mana orang tetap makan. Di situlah baru terasa bagaimana kami benar-benar menahan diri,” ungkap Sidrotun.
Ramadhan di Amerika juga memberikan pengalaman yang sangat berbeda bagi Sidrotun dan keluarganya terkait kebiasaan menjalankan sholat tarawih. Menurutnya, sholat tarawih di Amerika setiap malam menyelesaikan satu juz. Karena Al-Quran terdiri dari 30 juz, maka justru di Amerika ia dapat memaksakan diri untuk membaca seluruh isi Al-Quran dalam sebulan.
Menurut Sidrotun berpuasa selama bulan Ramadhan tidak mengurangi kegiatan kesehariannya. Sebagai mahasiswa, ia tetap menjalankan semua aktivitas di kampus, dan bahkan ia merasa lebih bersemangat menjalankan kesibukan sambil tetap berpuasa.
“Saya kan student, saya tetap menjalani aktivitas, sebagai mahasiswa saya tetap menjalankan riset saya. Jadi, di bulan puasa ada kesan lebih, ada semangat lebih,” ungkap Sidrotun.
Sidrotun tidak menemukan masalah dalam hal menemukan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, di Tucson tersedia toko yang khusus menjual daging halal. Yang menarik, ujarnya, imam mesjid setempat mengatakan bahwa daging tidak harus dibeli di tempat khusus makanan halal asalkan sebelum dimakan terlebih dulu dibacakan "Bismillah."
“Suatu malam, menu berbukanya itu pizza, dan saya agak kaget sebab bagaimana mungkin di sebuah masjid kita berbuka dengan dengan menu pizza yang dibeli dari tempat bukan Muslim. Kemudian saya tanyakan kepada imam di sini dan dijawab bahwa selama itu bukan babi dan tidak beralkohol tidak apa-apa asalkan sebelum makan itu silahkan dibacakan 'Bismillah,'” jelasnya.
Menurut Sidrotun, Amerika sebenarnya memiliki wajah lain dari perkiraan kebanyakan orang Indonesia. Menurutnya, Amerika, yang dalam pemberitaan lebih sering ditonjolkan sisi politiknya, sebenarnya memiliki banyak persamaan dengan Indonesia bila dilihat dari sisi humanisme. Ada banyak hal di mana antara orang Amerika dan orang Indonesia bisa saling berbagi.
Sidrotun mengatakan, ia menikmati puasa di Amerika yang menurutnya justru dalam beberapa hal lebih menarik, walaupun diakuinya bahwa ia juga merindukan pengalaman berpuasa di Indonesia.