Pemberontak yang terkait dengan kelompok teror ISIS telah merebut sejumlah daerah permukiman di Marawi, kota yang berada di bagian selatan Filipina. Selama hampir sepekan pasukan pemerintah Filipina telah berusaha menyingkirkan mereka.
Angkatan Bersenjata Filipina menyatakan setidaknya 61 militan dan 17 tentara keamanan tewas dalam pertempuran itu. Laporan-laporan menyebutkan, 19 warga sipil juga tewas dalam kekerasan itu.
Puluhan ribu warga kota berpopulasi 200 ribu orang itu telah mengungsi ke daerah-daerah di sekitarnya. Apa kira-kira dampak terburuk yang harus dihadapi Indonesia? Langkah cepat apa yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia?
Berikut perbincangan Andylala reporter VOA dari Jakarta bersama dengan Wakil Ketua Komisi 1 bidang Pertahanan DPR RI, TB Hasanuddin.
VOA: Ada serangan bersenjata dari kelompok militan pro ISIS di Marawi, tanggapan anda ?
TB : Ada pergeseran pergerakan dari subordinat ISIS ketika mereka terkepung di Timur Tengah. Untuk di wilayah Asia Tenggara, alternatif pertama itu di Filipina, kedua di Indonesia dan ketiga di Patani Thailand dan lalu di Sarawak Malaysia. Prasyarat yang menjadi catatan mereka adalah pertama, adanya geografi yang memungkinkan untuk melakukan perang gerilya. Attack, lalu hit and run. Kedua, logistiknya cukup. Apakah itu bantuan atau logistik wilayah. Dari menanam padi, singkong mereka cukup untuk hidup di hutan-hutan atau di pegunungan. Yang berikutnya, ada dukungan dari masyarakat. Lalu, memanfaatkan kemampuan intelijen Pemerintah setempat yang lemah. Dengan demikian akan sulit memantau pergerakan yang ada. Sehingga lambat laun mereka akan tumbuh menjadi regu, peleton dan menjadi pasukan.
VOA: Ada kemunkinan mereka akan bangun semacam safe house di Indonesia?
TB : Saya kira tanda-tanda itu sudah ada. Dalam kunjungan kami dari daerah Mindanao turun ke selatan Sangihe, itukan menjadi wilayah penetrasi mereka yang ilegal masuk ke Indoneia. Dulu waktu kasus (konflik) di Poso itu kan senjata dari atas (Filipina Selatan). Lalu masuk, dipakai wilayah Poso. Sekarang pun wilayah Poso dijadikan home base (basis pertahanan). Kemudian mereka melakukan persiapan termasuk berlatih. Kemudian mereka melakukan serangan dengan target-target kecil dulu di daerah-daerah tertentu. Tahap pertama deklarasi, memberi pesan bahwa kami ada. Yang kedua, mencari senjata. Dari 5 menjadi 6, 6 jadi 7, 7 jadi 8 dan seterusnya. Diambil dari pos-pos polisi dan militer. Kalau sudah besar mereka melakukan perang gerilya. Dan ketika perang gerilya mereka sudah mendapatkan logistik senjata dan amunisi, tidak mungkin hanya perang gerilya saja. Mereka akan beralih menjadi ofensif.
VOA: Seberapa besar kesanggupan kekuatan militer kita dalam mencegah masuknya ISIS dari Filipina ke Indonesia.
TB : Saya kira begini, kekuatan militer kalau dihadapi dengan perang terbuka, mereka tidak ada apa-apanya. Tetapi ketika mereka melakukan perang kota atau sabotase dan hutan rimba serta pembunuhan dan perampokan tentu akan sulit dihadapi. Kita harus meningkatkan kemampuan intelijen. Semua elemen intelijen yang dimiliki negara harus dikerahkan.
VOA: Apa saran dan rekomendasi untuk Pemerintah?
TB : Yang pertama tingkatkan pengawasan perbatasan-perbatasan. Lalu imigrasi.. jangan segan-segan menggunakan prajurit TNI. Yang kedua, di manapun teroris itu harus dihadapi dengan elemen penegak hukum, intelijen dan angkatan bersenjata. Jadi harus dikombinasikan. Terakhir ya penggunaan kekuatan militer.
VOA: Terimakasih atas waktu Anda bersama Voice Of America. Sehat dan sukses untuk anda.
TB : Terimakasih Wasalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. [aw/ab]