“Saya sudah lama sekali pakai jilbab, sejak TK, jadi sudah terbiasa,” ujar seorang siswi SMA di Medan kepada VOA.
“Saya pakai jilbab karena saya tidak ingin orang tua saya diejek kalau saya gak pakai jilbab,” ujar seorang siswi SMP di Jambi.
“Teman saya di sekolah banyak yang berjilbab, hampir semua yang muslimah pakai jilbab, yang pakai jilbab nanti tempat duduknya ada sendiri, perempuan dengan perempuan,” ujar siswi SMP di Klaten, Jawa Tengah.
Ketiga pelajar perempuan yang diwawancarai VOA ini seakan mewakili suara mereka yang selama ini harus mengenakan jilbab ketika bersekolah. Ada yang sudah terbiasa karena sudah mengenakan sejak masih taman kanak-kanak sekali pun, yang tentunya karena sosialisasi dari orang tua atau lingkungan sekitarnya, ada yang mengenakan karena khawatir ada sanksi sosial terhadap orang tuanya, dan ada pula yang berjilbab karena khawatir mendapat perlakuan berbeda dari kelompok mayoritas.
Tidak satu pun dari enam siswi dari berbagai daerah yang diwawancarai VOA, yang mengetahui adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang seragam sekolah yang memberi mereka kesempatan untuk menentukan pilihan sendiri: ingin terus berjilbab di sekolah atau tidak.
SKB yang ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 5 Februari lalu itu, mengatur tentang seragam sekolah di sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, di mana pemda atau sekolah tidak diperbolehkan untuk mewajibkan atau melarang siswa mengenakan seragam beratribut agama.
Dalam keterangan pers, Yaqut Cholil Qaumas mengatakan SKB ini ingin mengajak warga masyarakat untuk memahami ajaran agama secara substantif, bukan simbolik semata.
Pemberlakuan SKB tiga menteri ini disambut baik warga dan kelompok masyarakat sipil sebagai isyarat kehadiran negara di tengah tekanan dan perlakuan diskriminatif sebagian pihak terkait seragam sekolah.
Ketua Indonesian Conference on Religions for Peace ICRP Prof. Dr. Musdah Mulia mengatakan “meskipun terlambat, pemberlakuan SKB tiga menteri ini sudah tepat, apalagi di tengah degradasi nilai-nilai kebangsaan yang masih saja terjadi pasca reformasi.” Ia merujuk pada indeks demokrasi Indonesia yang menunjukkan bahwa “pertumbuhan demokrasi mengarah pada demokrasi tanpa nilai-nilai peradaban.” Hal yang menurut Musdah seharusnya mengkhawatirkan para elit politik dan pemerintah.
Hal senada disampaikan Nia Sjarifudin, Ketua Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika. “Kalau banyak yang sekarang mendukung SKB 3 menteri, itu sesungguhnya menandakan bahwa keprihatinan bersama terhadap keberadaan kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan konstitusi Indonesia.” Ia merujuk pada ratusan peraturan daerah yang secara diskriminatif menarget kelompok minoritas, termasuk perempuan.
Lebih jauh Nia menjelaskan banyak kajian menunjukkan bahwa “kebijakan yang tidak sesuai konstitusi ini sangat dipengaruhi pikiran politik mayoritas versus minoritas. Ini sangat tidak cocok dalam realitas Indonesia yang begitu beragam dan secara kewilayahan tidak boleh ada klaim mayoritas versus minoritas karena akan menimbulkan masalah yang mengganggu orientasi kebangsaan kita dan memicu konflik, seperti di Padang dan daerah-daerah lain.”
Oleh karena itu pemberlakuan SKB tiga menteri ini, menurut Nia, menegaskan kembali kehadiran negara dan kebijakan yang sesuai spirit konstitusi. “Apalagi SKB diberlakukan hanya untuk sekolah negeri yang dikelola negara, yang seharusnya memang mencerminkan kebebasan beragama, (menunjukkan) hijab itu bukan sesuatu yang harus dipaksakan, tetapi juga tidak boleh dilarang.”
5 Maret, Tenggat Pencabutan Aturan Diskriminatif
Hari Jumat (5/3) ini tepat satu bulan sejak pemberlakuan SKB itu, yang berarti pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Menurut peneliti senior Human Rights Watch untuk Indonesia, Andreas Harsono, seharusnya tidak ada alasan bagi pemda atau sekolah untuk mencabut aturan yang bertentangan dengan SKB tiga menteri ini.
“Peraturan ini memberi kebebasan pada individu siswa. Jika mau pakai jilbab karena keinginan sendiri, yaa monggo, silahkan. Tapi jika tidak mau yaa jangan dipaksa. Jadi tidak ada alasan untuk menolak. Bukankah kita ini ingin menghargai dan memberi kesempatan menentukan pilihan pada setiap individu, termasuk anak-anak dan perempuan,” jelasnya.
Aceh Dikecualikan
Yang menarik SKB tiga menteri ini mengecualikan Aceh karena dinilai ada kekhususan dan peraturan perundang-undangan terkait pemerintah Aceh.
Widiya Hastuti, perempuan Aceh, mempertanyakan keganjilan ini. “Saya pikir ini aneh karena mengapa SKB ini mengecualikan Aceh, seakan-akan pemerintah membedakan perempuan Aceh dengan perempuan lain di Indonesia. Padahal jika perempuan di daerah-daerah lain bisa tertekan karena atribut-atribut keagamaan yang dipaksakan, hal yang sama juga dirasakan perempuan di Aceh. Mungkin tidak semua, tapi ada. Mengapa kami tidak diberi hak juga untuk menentukan pilihan? Mengapa Aceh dikecualikan?.”
SKB tiga menteri No.02/KB/2021 tentang “Penggunaan Seragam Sekolah dan Atribut Sekolah di Sekolah Negeri di Indonesia” ini dinilai dapat menjadi momentum untuk membenahi carut marut kebijakan-kebijakan lain yang tidak sesuai dengan konstitusi.
Ratusan kelompok masyarakat sipil sudah menyatakan kesiapan mereka untuk bersinergi dengan pemerintah guna mendorong pencabutan kebijakan yang dinilai menekan dan diskriminatif, sambil sekaligus menggalakkan kebijakan yang berorientasi kebangsaan. [em/ab]