Dua dekade yang lalu, Kamerun mengumumkan bahwa penyakit lepra telah dimusnahkan, namun tiap tahun sekitar 200 kasus baru selalu dilaporkan. Pada tahun 2019, kasus penyakit bakteri yang merusak kulit dan syaraf tersebut, meningkat menjadi 270 dan tahun lalu melonjak di atas 300.
Sekretaris tetap Komisi Nasional Lepra di Kamerun, Ernest Nji Tabah, mengatakan bahwa sejumlah distrik kesehatan Kamerun selalu melaporkan adanya wabah penyakit parah yang sebenarnya masih dapat disembuhkan tersebut.
Menurut Tabah, sekitar 70 kasus baru telah dilaporkan di daerah barat daya. Terdapat perebakan di sejumlah daerah seperti di bagian utara, daerah Adamawa, daerah barat daya dan barat laut.
Tabah mengatakan bahwa orang-orang menganggap lepra itu sebagai sihir, sebuah hukuman dari Yang Maha Kuasa, disebabkan oleh ilmu sihir, penyakit turunan, dan sebagainya. Lepra bukanlah hal-hal tersebut.
Tabah ditemui saat menghadiri sebuah acara yang diadakan oleh sebuah grup bantuan sosial “Circle of Friends Cameroon” untuk hari Lepra Sedunia.
Sejumlah grup bantuan sosial membagi-bagikan bingkisan kecil berisikan makanan, sabun dan perlengkapan mandi kepada 30 orang pasien lepra di Rumah Sakit Jamot, di Yaounde, ibu kota Kamerun.
Patrice Essolla yang berusia 51 tahun mengatakan bahwa mereka belum pernah mendapat perhatian seperti ini karena sebagian besar keluarga biasanya menelantarkan saudaranya yang menderita lepra.
Essolla mengatakan bahwa mereka membutuhkan lebih banyak bantuan karena mereka sudah tak berdaya akibat lepra. Menurutnya, komunitas seharusnya tidak lagi beranggapan bahwa pasien lepra adalah penyihir. Sebaliknya masyarakat harus memberi pertolongan, bantuan dan perhatian yang dibutuhkan para pasien untuk dapat pulih kembali dari penyakitnya. Katanya, mereka miskin dan perlu bantuan, bukan penyiksaan mental yang dilakukan oleh keluarga mereka.
Pusat bantuan yang disebut Center of Hope milik Konvensi Baptis Kamerun, membantu merawat pasien lepra di kota Mbingo di sebelah barat laut. Kepala bagian lepra pusat bantuan tersebut, Fomban Lapier, mengatakan bahwa Kamerun dulu sebenarnya terlalu dini menyatakan penyakit tersebut telah berhasil diberantas. Berbicara melalui sebuah aplikasi pengiriman pesan, ia mengatakan bahwa Kamerun seharusnya tidak menutup sejumlah pusat perawatan dan menghentikan pendidikan masyarakat seputar penyakit tersebut.
Fomban mengatakan jika memungkinkan bagi pemerintah untuk membuka Kembali pusat perawatan, itu merupakan hal yang baik. Apabila mereka tidak melakukan itu, maka akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Sudah tidak ada pemeriksa atau pengawas lepra yang bertugas di lapangan. Bahkan para dokter dan juru rawat yang kini bertugas tidak tahu apapun soal lepra, jadi apabila tidak segera dilakukan sesuatu dalam waktu dekat, peningkatan kasusnya akan mengkhawatirkan.
Pejabat Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab atas penyakit lepra di kota Yaounde, Dian Ndjock, mengatakan bahwa mereka mendorong semua kasus yang terduga untuk dibawa ke rumah sakit. Ia mengatakan bahwa pemerintah tidak akan menelantarkan pasien lepra.
Ndjock mengatakan bahwa para pasien diberi perawatan dan makanan tanpa dipungut biaya di empat lokasi pusat spesialisasi dan mereka yang menderita penyakit tersebut dapat segera dibawa ke lokasi manapun dari 380 rumah sakit distrik di Kamerun. Ia mengatakan bahwa warga harus menghilangkan stigma dan berhenti mengasingkan penderita lepra secara sosial.
PBB melaporkan, tiap tahun terdapat lebih dari 200 ribu kasus baru penderita lepra yang terdeteksi secara global. India, Brasil dan Indonesia terhitung sebagai tiga per empat dari kasus infeksi tersebut. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengatakan bahwa di daerah Afrika, angka kasus lepra telah turun 42 persen sejak tahun 2000, tetapi sekitar 1 juta orang mengalami cacat tubuh sebagai akibat dari penyakit lepra. [aa/lt]