Dalam beberapa bencana gempa bumi, laporan mengenai dampaknya terkadang lambat dan tidak terkelola dengan baik. Tidak hanya terjadi di Indonesia, kondisi serupa juga terjadi di berbagai negara yang kerap mengalami jenis bencana alam ini.
Didorong oleh kenyataan itu, sejumlah mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengembangkan sebuah aplikasi berbasis android untuk menawarkan solusi.
Aplikasi bernama Seismo Sense ini mampu mengkoordinasikan laporan masyarakat secara cepat dan lebih akurat. Seluruh laporan dapat ditampung melalui server yang dikelola oleh badan resmi penanggulangan bencana.
Lima mahasiswa pengembang aplikasi ini adalah Tegar Pualam Syuhada, Putri Azizah, Rais Afif, Brigitta Petra, serta Fransiskus Anindita Kristiawan Pramana Gentur Sutapa.
Tidak hanya pelaporan korban, aplikasi ini juga memungkinkan masyarakat mengirimkan foto kerusakan yang terjadi. Menurut Tegar Pualam Syuhada, ketua tim pengembang aplikasi ini, selain berbentuk data statistik, aplikasi juga akan langsung menyajikan laporan di atas peta.
Pada kawasan-kawasan dengan jumlah laporan korban tinggi, peta dalam aplikasi akan berwarna merah. Semakin merah berarti semakin besar korban dan kerusakan yang terjadi. Berdasar peta dampak itulah, badan penanggulangan bencana bisa mengambil langkah yang tepat dan efisien secepatnya.
“Ini merupakan pengembangan dari konsep crisis mapping atau pemetaan berbasis krisis, yang sebelumnya pernah diujicobakan di gempa Haiti tahun 2010. Namun ketika itu dalam prakteknya belum menggunakan aplikasi android," ujar Tegar.
"Nah, dengan aplikasi ini semua orang bisa berpartisipasi dalam pendataan gempa, sehingga menghasilkan aliran data dengan cepat sehingga proses pemetaan juga akan lebih mudah, dan akan divisualisasi sesuai dengan kaidah kartografi. Pejabat pengambil keputusan pun akan bisa mengambil keputusan dengan mudah, cepat dan efisien.”
Aplikasi ini telah tersedia dan dapat diunduh gratis. Menurut Fransiskus Anindita, anggota tim pengembang, cara kerjanya diawali dengan pengaktifan geolocation atau lokasi geografi di ponsel pintar pelapor.
Server akan mencatat lokasi pelapor dan memberi kewenangan melaporkan dalam radius tertentu. Pihak lain yang mencoba menyampaikan laporan dari lokasi berdekatan, akan ditolak oleh aplikasi untuk menghindari duplikasi laporan.
Pelapor harus memasukkan nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai bentuk pertanggungjawaban agar pihak berwenang bisa memastikan bahwa laporan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
“Ketika aplikasi ini akan digunakan secara luas oleh pemerintah, maka akan bisa digunakan nomor KTP masing-masing anggota masyarakat, karena Indonesia sudah menggunakan sistem KTP elektronik. Setelah pengguna masuk ke dalam aplikasi ini, maka pengguna bisa membuat laporan mengenai dampak gempa bumi yang baru saja terjadi," ujar Fransiskus.
Aplikasi ini juga dapat terus digunakan dalam periode pascabencana. Badan penanggulangan bencana setempat dapat memanfaatkannya untuk memonitor distribusi bantuan logistik dan proses rehabilitasi serta rekonstruksi kawasan terdampak.
Aplikasi ini juga menyajikan transparansi karena seluruh pihak dapat memantau proses penanganan dampak bencana.