Sepanjang tahun 2016, terjadi 20 peristiwa intoleran serta pelanggaran kebebasan bergama dan berkeyakinan di Jawa Tengah. Dari jumlah itu, 16 kasus masuk kategori intoleran, sisanya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang justru dilakukan oleh negara.
Fakta ini menunjukkan adanya peningkatan 25 persen dari tahun 2015, atau 50 persen dari tahun 2014. Data itu merupakan bagian dari laporan tahunan Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA), Semarang, Jawa Tengah. Namun, selain meningkatnya tindakan intoleran, ELSA juga mencatat sejumlah kemajuan dalam pemenuhan kebebasan beragama.
Yayan M Royani dari ELSA mengatakan, jumlah kasus dalam beberapa tahun terakhir cenderung naik turun. Dalam catatan mereka, kasus yang terulang dan menonjol setidaknya melibatkan tiga hal, yaitu Ahmadiyah, Syiah dan pembangunan gereja di berbagai wilayah.
Dalam beberapa kasus besar di kota-kota utama di Jawa Tengah, teridentifikasi bahwa pelaku tindakan semacam ini sebenarnya sama. Meski berasal dari organisasi dengan nama berbeda, pola gerakan dan ideologinya serupa.
“Problemnya adalah mereka sudah punya frame sendiri, ini semua terkait dengan ideologi yang menjadi dasar pemikiran mereka, dan itu menitikberatkan pada kepentingan golongan dan kelompok mereka sendiri. Terkadang mereka mengatasnamakan Islam padahal tidak representatif. Selalu ada dialog sebenarnya, tetapi berakhir pada kebuntuan, karena asing-masing punya sudut pandang sendiri," ujarnya.
Menurut laporan tahunan ELSA, kelompok pelaku tindakan intoleran ada dalam hirarki ideologi yang sebangun dan merupakan kelompok yang konsisten. Gerakan-gerakan kelompok ini belakangan semakin dilirik publik, karena ada pengerahan masa. Kondisi ini memberi tiga keuntungan sekaligus bagi kelompok intoleran, yaitu kesempatan menyerukan kehendak teologis berupa penolakan terhadap ajaran kelompok lain, kesempatan mengeraskan politik identitas dan kesempatan tampilnya di publik.
Yayan menambahkan, dibutuhkan ketegasan dari pemerintah dan komitmen bahwa negara hadir untuk semua. Pemerintah tidak selayaknya selalu mengutamanan ketenteraman tanpa keadilan dan menciptakan situasi damai di permukaan tetapi mencederai minoritas.
“Khusus bagi NU dan Muhammadiyah, gerakan kultur toleransi itu harus lebih dikuatkan. Mereka jangan jadi mayoritas yang diam. Sebetulnya yang menolak ini kelompok kecil tetapi selalu mengatasnamakan umat lslam secara keseluruhan. NU dan Muhammadiyah jangan jadi mayoritas yang diam, harus ikut berpartisipasi menjunjung tinggi hukum dan toleransi,” tambah Yayan.
Salah satu kasus yang menonjol di Jawa Tengah tahun 2016 lalu adalah perusakan masjid al-Kautsar milik jamaah Ahmadiyah di Kabupaten Kendal. Masjid tersebut, yang dibangun dengan dana lebih dari Rp 200 juta hasil gotong royong 80 anggota Ahmadiyah setempat, dirusak puluhan orang pada 23 Mei 2016 dini hari. Dua orang pelakunya diproses hukum dan kini sedang menjalani sidang di pengadilan, dengan vonis yang kemungkinan dijatuhkan dalam beberapa pekan mendatang.
Ta’zis, pimpinan Jamaah Ahmadiyah di desa Purworejo, Kendal kepada VOA mengatakan, hingga saat ini masjid belum kembali dibangun. Selain harus kembali mengumpulkan dana, jamaah Ahmadiyah juga menunggu proses di pengadilan sekaligus terus menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar.
“Kalau ada keadilan dalam keputusan pengadilan, tentu masyarakat berpikir, oh teryata pelaku dihukum. Mungkin bisa membuat jera dan memberi kesadaran kepada masyarakat. Kita tidak pernah meminta ganti rugi atas kerusakan itu. Tidak ada persoalan lagi, dan kami tetap menjaga hubungan baik. Bahkan pelaku perusakan sudah datang ke tempat saya bersama Pak Lurah untuk meminta maaf. Ya mudah-mudahan saja mereka benar-benar menyesal, secara lahir dan batin,” kata Ta’zis.
Khusus untuk pembangunan kembali masjid al-Kautsar, Ta’zis meminta ada jaminan hukum karena mereka sudah memiliki IzinMendirikan Bangunan (IMB). Terkait sikap masyarakat, dia juga berharap pemerintah turun tangan memberikan penyadaran.
“Harapan kita ke pemerintah, bagaimana kita bisa meneruskan pembangunan masjid, bisa beribadah dengan aman, bisa hidup tenang dan beribadah dengan tenang. Kan semua itu sudah dijamin undang-undang. Kita juga mendirikan masjid melalui prosedur yang benar. Kami bingung, harus menggunakan alur yang bagaimana lagi, cara apa yang harus kami tempuh untuk bisa membangun masjid itu.”
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, secara nasional terjadi peningkatan kasus intoleransi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan selama 2016. Pengaduan pelanggaran KBB sepanjang 2016 terjadi 97 kali, jumlah ini meningkat dari 2015 yang berjumlah 87 pengaduan dan 76 kasus pada 2014.
Dalam laporan tahunan 2016 tentang kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan, Komnas HAM juga menenggarai adanya solidaritas negatif terkait penutupan rumah ibadah di berbagai daerah. Misalnya penutupan gereja di Indonesia bagian barat kemudian melahirkan aksi penolakan terhadap pembangunan masjid di Manado, Sulawesi Utara dan Bitung.
"Bahkan, ada penolakan jamaah tabligh di bandara NTT," ujar Imdadun Rahmat dari Komnas HAM dalam keterangan kepada media.
Selain itu, Komnas HAM juga mencatat pelaku intoleran masih didominasi oleh pemerintah daerah karena membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan melalui kewenangan dan kebijakannya yang tidak selaras dengan HAM.