Transitional Justice atau keadilan transisi adalah mekanisme kelembagaan yang bertujuan menyediakan akuntabilitas apabila terjadi kekerasan politik terhadap warga sipil dalam sebuah konflik. Di Carr Center, Kennedy School of Government, Harvard University sekelompok peneliti memprakarsai ikhtiar ini, dan Profesor Phuong Pham dari Harvard Medical School adalah salah satu tokoh yang memimpin program keadilan transisi ini.
"Jadi ikhtiar ini melewati banyak proses, salah satunya penuntutan kriminal, membentuk komisi kebenaran, membentuk program reparasi untuk penyintas, dan melakukan reformasi kelembagaan, serta juga mengembangkan program pendidikan dan peringatan untuk generasi penerus belajar tentang sejarah masa lalu," ujarnya.
Para cendekiawan di Carr Center ini mencari bukti-bukti yang membantu mereka untuk memahami secara lebih baik proses pelaksanaan sebuah program keadilan sosial dan dampaknya bagi sebuah masyarakat penyintas tragedi.
"Sebuah negara punya berbagai opsi ketika mereka hendak menanggapi pelanggaran HAM besar dari masa lalu… Jadi yang kami lakukan adalah mengumpulkan data dan memahami apa yang diinginkan penyintas, kebutuhan mereka, serta memberi saran berdasarkan itu, apa mekanisme terbaik yang bisa dilakukan sebuah negara berdasarkan apa yang dikatakan para penyintas serta keluarga mereka," tambahnya.
Salah satu keberhasilan program keadilan transisi ini terjadi di Kolombia, ketika Presiden Juan Manuel Santos yang memimpin pada tahun 2010-2018 bercita-cita menciptakan negara demokrasi yang baik dan mengupayakan rekonsiliasi antara pemerintah, pemberontak dan para penyintas dari tragedi perang disana.
Ayu Lestari Wahyuningroem, ilmuwan penerima beasiswa Fullbright di Carr Center yang dosen ilmu politik di UPN Veteran Jakarta mengatakan perjuangan keadilan transisi di Indonesia sudah diupayakan untuk berbagai konflik dan pelanggaran HAM, bukan saja untuk tragedi tahun 1965-1966. Ia mencontohkan Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, Tragedi Semanggi tahun 1998 dan 1999, dan pembunuhan aktivis HAM Munir tahun 2004.
"Itu agenda (maksudnya keadilan transisi) sudah ada di awal reformasi ya, kemudian berhenti, UU KKR juga dibatalkan, jadi di kita itu pernah ada mekanisme-mekanisme itu, ini mentok," tukasnya.
Tetapi Wahyuningroem menambahkan, bahwa agenda ini terus dimunculkan oleh masyarakat sipil.
Optimisme serupa juga disuarakan oleh Pham.
"Akan ada pemilu, dan penyelenggaraan keadilan transisi ini benar-benar bergantung pada pemerintah yang baru dan kemauan politik. Menurut saya berdasarkan apa yang terjadi baru-baru ini kelihatannya kecil harapannya, tetapi itu benar-benar bergantung pada aktivis yang sedang berjuang sekarang, beberapa karya advokasi yang mereka lakukan sekarang, dan apa yang terjadi dengan pemerintah baru yang akan berkuasa. Apakah mereka memiliki kemauan politik yang akan melembagakan beberapa program transisi keadilan ini yang selama ini diusahakan terbentuk," kata Pham.
Jadi meskipun hambatan besar dihadapi, namun baik dari dunia internasional maupun dalam negeri perjuangan meraih keadilan dan kebenaran ini tidak pernah akan surut. [jm/em]
Forum