BERLIN —
Sebuah lembaga anti-korupsi menempatkan Amerika Serikat dan Jerman sebagai yang paling aktif dalam menegakkan aturan-aturan yang melarang perusahaan-perusahaan multinasional dalam menggunakan suap di pasar-pasar asing.
Namun lembaga ini mengatakan Selasa (8/10) bahwa setengah dari eksportir top dunia berbuat sedikit atau tidak sama sekali dalam menyelidiki atau menghukum para pelanggar.
Sebuah laporan baru dari Transparency International menunjukkan bahwa hanya AS, Jerman, Inggris dan Swiss yang secara aktif menegakkan Konvensi Anti-Suap OECD yang disetujui oleh 40 negara pengekspor besar.
Konvensi Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 1997 melarang suap untuk memenangkan kontrak dan izin, atau untuk menghindari pajak dan aturan lokal.
Pada saat yang sama, 20 negara yang mencakup sekitar 27 persen ekpor-ekspor dunia, termasuk Jepang, Brazil, Korea Selatan dan Belanda, menunjukkan sedikit atau tidak ada penegakan sama sekali, menurut lembaga tersebut. Sebanyak 10 lagi hanya menegakkan aturan secara terbatas, yang berarti bahwa konvensi tersebut tidak memiliki kekuasaan yang seharunya.
“Ke-40 negara tersebut, yang mewakili lebih dari dua pertiga ekspor global, akan membuat suap sulit dilakukan jika mereka mematuhi persyaratan konvensi anti-suap OECD,” ujar kepala Transparency International Huguette Labelle dalam sebuah pernyataan.
Italia, Australia, Austria dan Finlandia menunjukkan “penegakan yang moderat.”
Laporan ini mempelajari kasu-kasus aktif atau vonis antara 2009 dan 2012 – waktu di mana banyak ekonomi terkena krisis dan organisasi itu mencatat bahwa banyak negara mengurangi sumber-sumber daya untuk melawan praktik suap.
Organisasi ini juga mendesak negara-negara G20 yang belum menandatangani konvensi – China, India, Indonesia dan Arab Saudi – untuk melakukannya segera. (AP/David Rising)
Namun lembaga ini mengatakan Selasa (8/10) bahwa setengah dari eksportir top dunia berbuat sedikit atau tidak sama sekali dalam menyelidiki atau menghukum para pelanggar.
Sebuah laporan baru dari Transparency International menunjukkan bahwa hanya AS, Jerman, Inggris dan Swiss yang secara aktif menegakkan Konvensi Anti-Suap OECD yang disetujui oleh 40 negara pengekspor besar.
Konvensi Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 1997 melarang suap untuk memenangkan kontrak dan izin, atau untuk menghindari pajak dan aturan lokal.
Pada saat yang sama, 20 negara yang mencakup sekitar 27 persen ekpor-ekspor dunia, termasuk Jepang, Brazil, Korea Selatan dan Belanda, menunjukkan sedikit atau tidak ada penegakan sama sekali, menurut lembaga tersebut. Sebanyak 10 lagi hanya menegakkan aturan secara terbatas, yang berarti bahwa konvensi tersebut tidak memiliki kekuasaan yang seharunya.
“Ke-40 negara tersebut, yang mewakili lebih dari dua pertiga ekspor global, akan membuat suap sulit dilakukan jika mereka mematuhi persyaratan konvensi anti-suap OECD,” ujar kepala Transparency International Huguette Labelle dalam sebuah pernyataan.
Italia, Australia, Austria dan Finlandia menunjukkan “penegakan yang moderat.”
Laporan ini mempelajari kasu-kasus aktif atau vonis antara 2009 dan 2012 – waktu di mana banyak ekonomi terkena krisis dan organisasi itu mencatat bahwa banyak negara mengurangi sumber-sumber daya untuk melawan praktik suap.
Organisasi ini juga mendesak negara-negara G20 yang belum menandatangani konvensi – China, India, Indonesia dan Arab Saudi – untuk melakukannya segera. (AP/David Rising)