Tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Anti-Hukuman Mati. Peringatan ini ditetapkan dalam sebuah kongres yang dilangsungkan organisasi-organisasi yang menentang hukuman mati di ibukota Roma, Italia, pada Mei 2002.
Indonesia terakhir kali melaksanakan eksekusi mati tahun lalu, yaitu terhadap empat terpidana. Sementara pada tahun 2015 Indonesia mengeksekusi 14 terpidana mati.
Menurut rencana tahun ini Kejaksaan Agung akan melaksanakan eksekusi serupa. Hingga laporan ini disampaikan terdapat sedikitnya 134 orang dalam daftar tunggu eksekusi mati.
Dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (8/10), Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W. Eddyono mengatakan meski sampai bulan ini belum ada pelaksanaan eksekusi mati, namun tren hukuman mati pada 2017 meningkat.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan ICJR, selama Januari-Juni 2016, terdapat 26 kasus yang terdakwanya dituntut hukuman mati dan dan 17 perkara yang terdakwanya memperoleh vonis hukuman mati.
Tetapi selama selama Juli 2016-September 2017 ditemukan kasus terkait hukuman mati sebanyak 52 perkara.
Dari 45 perkara yang disidangkan, ada 46 terdakwa yang dituntut hukuman mati oleh jaksa. Sementara jumlah terdakwa yang divonis hukuman mati mencapai 39 orang.
Supriyadi mengatakan, "Ada dua perkara biasanya hadir tiap tahun sejak reformasi. Pertama, perkara narkotika. Kedua, pembunuhan berencana. Ada yang terbaru terkait dengan perkosaan seksual terhadap anak dengan pemberatan. Tahun 2017 Perpu kebiri sudah digunakan dalam tuntutan dan hukuman mati di pengadilan Indonesia."
Lebih lanjut Supriyadi mengatakan dari 52 perkara berkaitan dengan hukuman mati sepanjang tahun ini, Jawa masih paling banyak yaitu dengan 27 perkara. Disusul Sumatera (17), Kalimantan (5), Sulawesi (2) dan Papua (1).
Supriyadi menambahkan pernyataan darurat narkoba dan darurat kekerasan seksual menjadi pendorong makin meningkatnya tren hukuman mati di Indonesia.
Berdasarkan jenis kasus, tren hukuman mati tahun ini terbanyak pada kasus narkoba, yakni 25 perkara, diikuti pembunuhan (15), dan persetubuhan dengan anak (2).
Supriyadi memperkirakan tren hukuman mati di Indonesia akan kembali naik karena ancaman hukuman mati diberlakukan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perkara terorisme yang belidnya sedang digodok di Dewan Perwakilan Rakyat.
Dr. Maruarar Siahaan, rektor Universitas Kristen Indonesia dan mantan hakim Mahkamah Konstitusi, menegaskan hukuman mati bukan cara paling ampuh untuk memberantas kejahatan. Pelaksanaan hukuman mati menurutnya merupakan legitimasi negara untuk melakukan kekerasan. Ditambahkannya, pelaksanaan hukuman mati juga berdampak negatif karena memberikan pendidikan kepada masyarakat bahwa kekerasan itu sah.
Maruarar mengakui hukuman mati memang mengerikan namun tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku kejahatan.
"Seperti narkoba, (pelakunya) miskinkan. Korruptor miskinkan, permalukan dia di tenga-tengah masyarakat dengan bekerja di Soedirman. Bayangkan kalau seorang pejabat tinggi pakai kuning tiap hari menyapu jalan. Dia punya cucu lewat. Dia pasti menyerah," ia menambahkan.
Maruarar menyerukan kepada pemerintah untuk menghentikan sementara pelaksanaan hukuman mati dan mengevaluasi jenis hukuman tersebut agar bisa memberikan pendidikan yang bagus kepada masyarakat.
Dalam kesempatan yang sama Ifdhal Kasim, Staf Ahli Deputi V Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia di Kantor Staf Presiden, menilai hasil pemantauan ICJR tersebut sangat mengejutkan karena penggunaan hukuman mati menjadi semakin tinggi tahun ini dibanding tahun lalu. Ia menegaskan bahwa hukuman ini tetap penting karena sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo, hukuman mati efektif memerangi penyalahgunaan narkoba.
Menurut Ifdhal, "Karena itu, sepanjang tiga tahun pemerintahan sekarang, kita menyaksikan terjadi eksekusi yang sangat tinggi bila dibanding pemerintahan sebelumnya. Pada pemerintahan SBY selama dua periode, eksekusi hukuman mati dikelola sedemikian rupa sehingga tidak menunjukkan angka yang tinggi."
Artinya, menurut Ifdhal, tren yang tampak dalam laporan ICJR itu menunjukkan masih perlu waktu panjang untuk mengganti hukuman mati dengan hukuman lain yang lebih menimbulkan efek jera.
Ifdhal mengakui banyak negara di Dewan HAM PBB menyoroti penerapan hukuman mati di Indonesia dan menyerukan kepada pemerintahan Jokowi untuk segera menghapus hukuman mati bagi semua jenis pidana. Jika belum bisa, Dewan HAM PBB meminta pemerintah Indonesia untuk melakukan moratorium. Sejauh ini belum ada tanggapan resmi pemerintah terhadap seruan itu. [fw/em]