Komisioner Komnas HAM, Hairansyah Akhmad, mengatakan tren serangan dengan berbagai bentuk terhadap para pembela HAM semakin meningkat. Hal tersebut berdasarkan data dari aduan yang masuk ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK.
“Oleh karena itu diperlukan upaya yang lebih komprehensif dari negara dalam memastikan perlindungan bagi para pembela HAM,” katanya dalam konferensi pers peringatan Hari Pembela HAM Nasional, Selasa (7/9).
Lanjut Hairansyah, serangan itu bisa berupa ancaman, penghalangan atau pembatasan kegiatan pembelaan dan pemajuan HAM. Tak luput para pembela HAM juga kerap mendapatkan serangan secara fisik, psikis, verbal, seksual, digital, hingga diskriminasi.
“Pelanggaran ancaman atau serangan tersebut ditujukan untuk menghentikan pembela HAM dalam melakukan kerja-kerjanya,” ungkapnya.
Menurut Hairansyah, keberadaan pembela HAM di Indonesia sangat penting dalam kemajuan perlindungan, penghormatan, dan penegakan HAM. Pembela HAM dalam perjalanan bangsa Indonesia sudah berpartisipasi dan berkontribusi terhadap kemajuan HAM baik di tataran kebijakan maupun implementasinya.
Bukan hanya itu, para pembela HAM juga telah berkontribusi dalam bentuk pendampingan korban, pemberdayaan dan pengorganisasian komunitas, peningkatan kesadaran publik serta kampanye HAM.
“Namun demikian, kenyataannya sampai saat ini kondisinya masih sangat memprihatinkan terutama perempuan pembela HAM yang memiliki keunikan identitas gender dan seksualitasnya. Mereka kerap mengalami pelanggaran, ancaman, dan serangan yang menyasar tubuh atau identitas perempuannya,” ujar Hairansyah.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, menjelaskan berbagai peristiwa pelanggaran itu menunjukkan betapa seriusnya permasalahan terkait dengan serangan terhadap pembela HAM. Padahal, bermacam regulasi telah dikeluarkan untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap pembela HAM.
“Meski hak untuk pembela HAM telah diakui dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun, masih terdapat celah antara norma dan operasionalisasi perlindungan terhadap pembela HAM,” ucapnya.
Iswarini menjelaskan kerja-kerja pembela HAM seharusnya dipandang sebagai bentuk kontribusi signifikan terhadap tanggung jawab penegakan HAM yang diemban oleh pemerintah, bukan malah sebaliknya. Pasalnya dalam perjanjian HAM negara memiliki tiga kewajiban utama yaitu menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM setiap warga negaranya.
“Sebagai mitra yang paling strategis dalam penegakan HAM. Sudah sepatutnya kebijakan perlindungan bagi pembela HAM diupayakan oleh pemerintah,” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK, Livia Istania DF Iskandar, menyampaikan lima rekomendasi untuk memberikan perlindungan dan pemulihan yang lebih komprehensif bagi para pembela HAM. Pertama, DPR RI harus segera melakukan perubahan berbagai kebijakan dalam berbagai bentuk yang berpotensi menjadi ancaman bagi kerja-kerja yang dilakukan pembela HAM, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang Minerba, serta Undang-Undang Cipta Kerja.
“Kemudian, merevisi Undang-Undang HAM yang memperkuat peran maupun fungsi lembaga negara independen untuk mendorong ruang perlindungan serta pemulihan yang lebih komprehensif terhadap perempuan dan pembela HAM,” katanya.
Kedua, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera menetapkan Peraturan Menteri anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation/gugatan strategis terhadap partisipasi publik) terkait dengan implementasi Pasal 66 Undang-Undang Lingkungan Hidup. Ketiga, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk turut membangun sistem perlindungan melalui rumah aman bagi perempuan pembela HAM yang mengalami kekerasan atau serangan.
Empat, aparat penegak hukum untuk memperhatikan penerapan Pasal 10 UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan menyosialisasikan pasal tersebut secara masif. Selain itu menggunakan mekanisme berbasis HAM dalam penanganan kasus pembela HAM. Lalu, tidak mudah menerapkan pemidanaan untuk mengkriminalisasi para pembela HAM.
“Kelima, media online dan offline untuk lebih intensif dalam mempublikasikan persoalan pembela HAM demi memperkuat pemahaman publik,” pungkas Livia.
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, dalam kurun waktu 2015-2021 ada 87 kasus yang diadukan langsung oleh perempuan pembela HAM. Provinsi tertinggi pengaduan yakni DKI Jakarta 33 kasus, Jawa Timur dan Jawa Barat 9 kasus, Maluku dan Aceh 7 kasus. Secara khusus tahun 2020, Komnas Perempuan mencatat 36 kasus serangan dan kekerasan terhadap perempuan pembela HAM yang naik dari tahun 2019 yakni lima kasus. [aa/em]