“Kemana kami harus pergi sekarang? Kami tidak punya negara. Negara kami sudah kacau, sudah hancur. Kami tidak punya pilihan lain. Kami ingin UNHCR beri solusi yang lebih baik.”
Inilah sebagian tuntutan yang disuarakan sekitar 400an pengungsi Afghanistan di depan kantor Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) di Jakarta hari Selasa (24/8). Sebagian besar pengungsi ini berasal dari etnis minoritas Hazara, yang banyak mengungsi ke negara-negara lain karena kerap mendapat perlakuan diskriminatif di negara mayoritas Sunni itu.
Di antara para pengungsi ini terdapat perempuan dan anak-anak, yang bahkan sudah dapat berbahasa Indonesia dengan sangat baik mengingat lamanya waktu yang mereka habiskan di Indonesia untuk menunggu penempatan ke negara ketiga.
Diwawancarai VOA, Hakmat, salah seorang pengungsi Afghanistan berusia 27 tahun, mengatakan telah berada di Jakarta sejak tahun 2013. Selama delapan tahun ia menantikan penempatan ke Australia, namun proses itu terhenti ketika pemerintah negara Kangguru itu memperketat penerimaan pengungsi, yang kemudian diperumit dengan perebakan virus corona.
“Sebagian besar sudah berada di Indonesia sangat lama, antara 8-10 tahun, dan berada dalam ketidakpastian. UNHCR memang mengatakan bahwa hanya satu persen yang berkesempatan ditempatkan ke negara ketiga, itu pun untuk yang benar-benar rentan, dan mereka menyarankan kami melakukan repatriasi tapi prosesnya pun sulit. Hari ini kami berdemonstrasi untuk kembali menekan UNHCR untuk mempertanyakan berapa lama lagi kami harus berada dalam ketidakpastian?,” keluhnya.
Para pengungsi Afghanistan yang melangsungkan demonstrasi di tengah perebakan luas virus corona di Jakarta itu sempat bentrok dengan aparat keamanan yang berupaya membubarkan mereka karena melanggar aturan berkerumun terkait penanganan COVID-19. Empat orang sempat ditangkap, meskipun akhirnya dibebaskan aparat.
Selain menuntut diambilnya langkah serius untuk memukimkan mereka di negara ketiga, para demonstran juga mengutuk pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban pada 15 Agustus lalu. Ibrahim, yang datang ke Jakarta tahun 2013 ketika ia baru berusia 17 tahun mengatakan sangat khawatir dengan nasib keluarganya di Afghanistan.
“Kami tidak tahu apa yang akan dilakukan Taliban pada keluarga kami yang berasal dari etnis Hazara di Afghanistan. Mereka mungkin akan dibunuh. Mereka kini berada dalam situasi tidak aman. Tolonglah kami,” harap Ibrahim.
Ibrahim juga mengatakan tidak percaya bahwa Taliban akan memenuhi janji akan membangun pemerintahan yang inklusif, membangun perekonomian atau bahkan menghormati hak-hak perempuan.
“Taliban tidak pernah berubah karena mereka tidak pernah benar-benar hidup dan membangun masyarakat, tidak menggunakan teknologi atau terhubung dengan sekolah atau universitas. Mereka hidup di pegunungan. Sebagian besar pengungsi di sini khawatir dengan nasib keluarga mereka yang masih berada di sana, juga yang sebelumnya bekerja untuk pemerintah asing sebagai penerjemah atau penunjuk jalan, mereka kini berada dalam kondisi tidak aman,” imbuhnya.
Hal senada disampaikan Hakmat. “Taliban menarget kami, suku minoritas, selama puluhan tahun untuk mencapai target politik mereka. Mereka melakukan beragam serangan terhadap Hazara. Beberapa hari lalu kami mendapat kabar ada sembilan laki-laki Hazara dieksekusi tanpa alasan apapun. Ini salah satu contoh betapa kejinya kelompok teroris ini. Sekarang ini juru bicara Taliban mengatakan tidak akan melukai warga sipil, tapi pada kenyataannya ucapan dan tindakan mereka saling bertolak belakang. Mereka tidak pernah bisa dipercaya. Bagaimana mungkin kami mempercayai kelompok yang sudah menumpahkan darah selama puluhan tahun dan kini muncul bagai malaikat pelindung. Orang tidak percaya, orang ketakutan, orang ingin meninggalkan Afghanistan,” tukasnya.
Beberapa wakil demonstran itu sempat diterima perwakilan UNHCR di kantor mereka. Seusai pertemuan itu Hakmat mengatakan UNHCR berjanji “tim-nya akan bekerja lebih keras untuk mengupayakan penempatan ke negara-negara lain dan mendengar lebih banyak kesulitan yang dihadapi pengungsi.” VOA telah menghubungi UNHCR secara terpisah, namun belum menerima jawaban.
Para demonstran mengatakan sangat menghargai pemerintah Indonesia, terutama pihak kepolisian, “yang menunjukkan rasa toleransi” dan “memahami situasi” yang dihadapi para pengungsi. “Kami tidak punya pilihan lain selain melangsungkan demonstrasi damai untuk menyampaikan suara kami dan menunjukkan keprihatinan kami akan nasib keluarga kami di Afghanistan,” ujar Hakmat.
Indonesia Belum Ratifikasi Konvensi 1951
Indonesia belum meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol 1967 sehingga tidak berkewajiban menampung atau merepatriasi pengungsi. Namun dengan alasan kemanusiaan, Indonesia selama ini tetap menerima sejumlah pengungsi, terutama yang kehidupan dan kebebasannya terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau memiliki pandangan politik yang berbeda.
UNHCR pada tahun 2008 telah menyampaikan sebuah rencana aksi untuk melindungi pengungsi dan mengatasi apa yang disebut sebagai “migrasi tercampur,” yang mencakup mekanisme untuk mengembangkan kapasitas pemerintahan dan upaya mengatasi masalah pengungsi menuju aksesi dua instrumen terkait pengungsi tadi.
Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 menandatangani Peraturan Presiden tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri yang memuat berbagai aturan tentang deteksi, penampungan dan perlindungan pencari suaka dan pengungsi. Berbagai ketentuan ini belum sepenuhnya diterapkan. Pemerintah juga belum memberi sikap terhadap aksi unjuk rasa para pengungsi dari Afghanistan ini. [em/iy/aa]