Jaksa penuntut umum menuntut dua orang polisi yang menyerang penyidik senior KPK Novel Baswedan yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dengan pidana penjara 1 tahun. Keduanya dinilai melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam pertimbangannya, jaksa menyebut hal yang memberatkan adalah terdakwa menciderai institusi Polri. Sedangkan yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum, mengakui perbuatannya, kooperatif dan telah menjadi polisi selama 10 tahun.
"Berdasarkan ketentuan undang-undang yang bersangkutan menuntut majelis hakim PN Jakpus memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, satu menyatakan terdakwa Ronni Bugis telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana bersama-sama melakukan perbuatan penganiayaan dengan rencana lebih dahulu yang mengakibatkan luka-luka berat," kata jaksa saat membacakan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6) secara online.
Jaksa menambahkan kedua terdakwa tidak sengaja menyiram air keras ke kepala Novel Baswedan yang kemudian berakibat kepada cacat permanen pada mata kiri. Menurut jaksa, kedua polisi tersebut pada mulanya hanya ingin menyerang badan Novel.
Anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Andi Muhammad Rezaldy mengatakan, tuntutan jaksa terlalu rendah dan tidak berpihak kepada korban yakni Novel Baswedan yang merupakan penyidik senior KPK. Menurutnya, jaksa semestinya mendakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana karena penyerangan tersebut dapat berpotensi pada kematian.
"Kalau dilihat fakta dan peristiwa korban-korban penyiraman air keras di berbagai daerah. Itu rentan si korban kehilangan nyawa. Bahkan Novel juga sempat cerita ketika ia disiram air keras dia kesulitan untuk bernapas," jelas Andi kepada VOA, Kamis (11/6).
Andi menjelaskan jaksa semestinya juga menghadirkan tiga saksi yang mengetahui duduk perkara kasus penyerangan ini. Menurutnya, ketiga saksi tersebut sudah pernah diperiksa polisi, KOmnas HAM dan Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian. Namun, Andi tidak menjelaskan ketiga saksi tersebut.
"Peran penuntut umum terlihat seperti pembela para terdakwa. Hal ini dengan mudah dapat disimpulkan oleh masyarakat ketika melihat tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa," imbuhnya.
Andi menuntut presiden Joko Widodo untuk membentuk Tim Pencari Fakta Independen untuk menuntaskan kasus Novel. Selain itu, ia juga mendesak Komisi Kejaksaan untuk memeriksa jaksa penuntut umum yang menangani kasus Novel ini.
Amnesty International Indonesia: Penting Ungkap Aktor Utama
Senada Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan ini merupakan masalah yang serius dan dapat mengancam pemberantasan korupsi. Karena itu, menurutnya penting untuk mengungkap aktor utama, tidak hanya menangkap pelaku di lapangan.
"Kasus-kasus high-profile yang menyasar pembela HAM seperti penyerangan Novel ini mengingatkan kita akan kasus Munir, motif yang terungkap di pengadilan juga sama, dendam pribadi. Ada kesan kasus dipersempit dengan hanya menjaring pelaku di lapangan, bukan otaknya," jelas Usman melalui keterangan tertulis, Kamis (11/6).
Usman menambahkan tuntutan tersebut juga tidak sebanding dengan tahanan politik Papua yang mencapai belasan tahun. Padahal, kata dia, para aktivis Papua tersebut menyuarakan aspirasi mereka dengan cara damai.
"Pelaku penyerangan Novel justru sebaliknya, bersenjata dan jelas melakukan kekerasan, namun ancaman hukumannya sangat ringan. Hukum menjadi dipertanyakan dan keseriusan Indonesia untuk meneggakan HAM juga turut dipertanyakan," tambah Usman.
Penyidik senior KPK Novel Baswedan disiram air keras oleh 2 orang pada 11 April 2017 silam, sekitar pukul 05.10 WIB di sekitar rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta. Belakangan diketahui penyerangnya adalah dua anggota polisi bernama Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis. Akibat serangan tersebut mata kiri Novel mengalami cacat permanen. [sm/em]