Tautan-tautan Akses

UNICEF: Ratusan Ribu Anak Berisiko Meninggal karena Kurang Gizi di Sudan


Anak-anak Sudan tinggal di kamp pengungsi di selatan Khartoum di tengah perang sudara yang terus berkecamuk.
Anak-anak Sudan tinggal di kamp pengungsi di selatan Khartoum di tengah perang sudara yang terus berkecamuk.

Pejabat senior PBB pada hari Kamis (27/6) memperingatkan bahwa ratusan ribu anak di Sudan berada di ambang kelaparan dan berisiko meninggal, di tengah perang yang sengit antara dua jenderal yang memperebutkan kekuasaan di negara Afrika itu.

Konflik tersebut telah menghancurkan negara itu dan menciptakan krisis yang akan memengaruhi masa depan generasi-generasi mendatang.

Sedikitnya 17 juta anak putus sekolah akibat perang.

Sekitar empat juta anak di bawah usia lima tahun menderita gizi buruk akut, di mana 730.000 di antaranya berisiko meninggal, kata Direktur Eksekutif Dana Anak-Anak PBB (UNICEF) Catherine Russel.

“Mereka di ambang kelaparan,” kata Russel.

Pernyataannya itu disampaikan setelah para pakar internasional menggambarkan situasi suram di Sudan pada hari Kamis, dalam sebuah laporan yang memperingatkan bahwa 755.000 orang di sana menghadapi kelaparan dalam beberapa bulan ke depan.

Temuan terbaru diperoleh dari Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terintegrasi (Integrated Food Security Phase Classification/IPC), sebuah inisiatif yang pertama kali digagas tahun 2004 pada saat terjadinya kelaparan di Somalia, yang kini mencakup lebih dari selusin badan PBB, kelompok bantuan, pemerintah berbagai negara dan lembaga-lembaga lainnya.

Laporan itu menyatakan bahwa 8,5 juta orang menghadapi kelangkaan pangan ekstrem setelah 14 bulan konflik di Sudan. Selain itu, kelaparan juga menyebar ke

Ibu Kota Khartoum dan Provinsi Jazira, yang sempat menjadi lumbung gandum negara itu.

Negara yang terletak di timur laut benua Afrika itu mengalami kekacauan April tahun 2023, ketika ketegangan antara militer Sudan, yang dipimpin Jenderal Abdel-Fattah Burhan, dan kelompok paramiliter terkenal, Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF), di bawah arahan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, meletus menjadi perang terbuka di Khartoum dan wilayah lain di negara itu.

Konflik itu telah menewaskan lebih dari 14.000 orang dan melukai 33.000 lainnya, menurut data PBB, tetapi aktivis HAM mengatakan jumlahnya jauh bisa jauh lebih tinggi dari itu.

Konflik itu menciptakan krisis pengungsi terbesar di dunia, di mana lebih dari 11 juta orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.

Para pakar hak asasi manusia yang bekerja untuk PBB mengatakan bahwa kedua sisi yang berperang menggunakan pangan dan kelaparan sebagai senjata.

“Laporan IPC tentu sangat mengkhwatirkan. Dan saya rasa ini menunjukkan kepada kita apa yang akan terjadi, kecuali kita membuat perubahan,” kata Russel.

“Perubahan yang kami maksud adalah lebih banyak akses dan kami membutuhkan lebih banyak pasokan [bantuan],” tambahnya.

“Konsekuensi kekerasan yang terjadi, pengungsian, kelangkaan pangan, minimnya keamanan sangat menghancurkan bagi perempuan dan anak-anak di Sudan,” kata Russel dalam sebuah wawancara setelah kunjungannya ke Sudan awal pekan ini.

Ia mengatakan bahwa UNICEF membutuhkan dana sebesar $840 juta (sekitar Rp13,7 triliun) untuk melanjutkan operasi mereka dan membantu anak-anak Sudan.

“Penting bagi komunitas internasional untuk menyadari bahwa kita memerlukan lebih banyak bantuan untuk Sudan,” ujarnya.

“Namun kita juga perlu mendorong pihak-pihak [yang terlibat] untuk – mudah-mudahan – menciptakan perdamaian. Itu yang pada akhirnya kita butuhkan dalam masalah ini,” tambah Russel. [rd/jm]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG