Utusan khusus PBB yang baru untuk Myanmar, Senin (27/12), menyatakan "sangat prihatin" akan peningkatan kekerasan di negara itu. Ia menyerukan gencatan senjata pada tahun baru antara militer dan lawan-lawannya.
Protes di seluruh negara itu, menentang kudeta Februari, telah dihadapi dengan tindakan keras berdarah. Lebih dari 1.300 orang tewas dan lebih dari 11.000 ditangkap, menurut organisasi pemantau lokal.
Upaya diplomatik untuk menyelesaikan krisis yang dipimpin oleh PBB dan ASEAN sejauh ini hanya membuat sedikit kemajuan, karena para jenderal menolak untuk berunding dengan lawan-lawannya.
Utusan khusus Noeleen Heyzer "sangat prihatin akan eskalasi kekerasan yang berlanjut di Negara Bagian Kayin dan bagian lain Myanmar," katanya dalam pernyataan pertama sejak bertugas. Ia juga mengimbau "semua pihak agar mengizinkan bantuan kemanusiaan diberikan kepada mereka yang membutuhkan, termasuk mereka yang terpaksa melarikan diri dari kekerasan," dan agar semua pihak mencapai gencatan senjata pada tahun baru.
Pada Minggu (26/12), seorang pejabat PBB menyatakan merasa "ngeri" setelah laporan yang dapat dipercaya menyebutkan bahwa setidaknya 35 warga sipil tewas dan tubuh mereka dibakar dalam serangan pada Malam Natal di Myanmar timur. Ia menuntut pemerintah melakukan penyelidikan.
Dua pekerja untuk kelompok nirlaba Save the Children masih hilang. Kendaraan mereka termasuk di antara beberapa yang diserang dan dibakar dalam insiden di negara bagian Kayah. Badan amal itu Senin mengatakan bahwa pihaknya masih menyelidiki insiden itu.
Ada juga bentrokan baru dalam beberapa hari terakhir antara pemberontak etnis dan militer di negara bagian Kayin – yang juga dikenal sebagai Karen. Akibatnya, ribuan orang melarikan diri ke negara tetangga, Thailand.
Juru bicara junta mengatakan kepada kantor berita AFP pekan lalu bahwa militer telah melancarkan serangan udara terhadap pejuang Uni Nasional Karen dan anggota kelompok "Angkatan Pertahanan Rakyat" lokal yang bermunculan untuk melawan kudeta. [ka/ab]