Wahid Foundation dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) Oktober lalu melakukan survei nasional tentang tren toleransi sosial keagamaan di kalangan perempuan Muslim di Indonesia. Hasilnya 80,8% perempuan Muslim Indonesia tidak bersedia menjadi radikal. Hal ini disampaikan Yenny Wahid dalam konferensi pers peluncuran hasil survei di Jakarta hari Senin (29/1).
Yenny mengatakan angka itu sangat menggembirakan, karena membuktikan bahwa meskipun ada sejumlah perempuan yang terlibat dalam kasus terorisme, umumnya kaum hawa di Indonesia tidak radikal. Terminologi radikal yang dimaksud Yenny adalah “pernah menyumbang dalam bentuk materi kepada organisasi radikal, meyakinkan orang lain untuk memperjuangkan syariat Islam sebagai hukum positif di Indonesia guna menggantikan Pancasila, berdemontrasi terhadap kelompok dinilai menodai atau mengancam kesucian Islam, ikut merencanakan razia, atau ikut menyerang rumah ibadah agama lain.”
Temuan penting lainnya adalah perempuan Muslim lebih banyak mendukung kebebasan menjalankan ajaran agama atau kepercayaan ketimbang lelaki.
"Ini penting karena kelompok yang tidak disukai berkaitan dengan level intoleransi yang ada di sebuah negara atau komunitas. Makin banyak kelompok yang tidak disukai maka biasanya kecenderungannya, apalagi kalau kemudian hak-hak orang yang tidak disukai itu tidak diberikan, itu menunjukkan intoleransi juga tinggi," ungkap Yenny.
Kemandirian perempuan ikut menentukan sikapnya, ujar Yenny. Perempuan yang mandiri tidak terjebak ketika disuruh ikut organisasi radikal. Menurutnya ada tiga faktor yang bisa mendorong orang menjadi radikal.
"Pertama, mendukung pandangan dan konsep jihad yang berdasarkan kekerasan. Kedua, mendukung organisasi-organisasi kemasyarakatan yang radikal. Ketiga, sering terpapar ceramah berisi radikalisme," imbuh Yenny.
Satu faktor menarik yang ditemukan dalam penelitian di 34 propinsi ini adalah hubungan antara sikap dan pemikiran positif dengan radikalisasi. Jika orang berpikiran positif tentang kondisi keamanan, penegakan hokum dan ekonomi nasional, maka cenderung tidak radikal.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Hendro mengatakan peneliti ini tidak saja menyoroti tentang perempuan tetapi juga perempuan dan agama. Mengingat survei korelasi perempuan dengan tren toleransi sosial keagamaan ini sangat jarang dilakukan di Indonesia, hasil survei ini sangat penting bagi akademisi dan kalangan yang ingin memajukan perempuan Indonesia.
Hendro menggarisbawahi salah satu hasil survei yang penting adalah perempuan Muslim – dibanding laki-laki – tidak mudah terpapar ideologi atau ajaran radikal.
"Temuan lainnya adalah kesediaan untuk melakukan tindakan radikal itu yang paling dekat adalah kalau mereka mendukung, baik dari segi ideologi dan maupun organisasi. Perempuan (muslim di Indonesia) tidak mendukung organisasi-organisasi radikal," ujar Hendro.
Perwakilan UN Women, Sabine Machl mengatakan pihaknya sangat senang bekerjasama dengan Wahid Foundation untuk memberdayakan perempuan Indonesia, yang kerap menjadi korban dalam konflik.
"Kami meyakini sangat penting perempuan juga mendapat peluang untuk menduduki posisi strategis dan pengambil keputusan di tingkat lokal dan nasional," kata Sabine.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yambise mengatakan hasil survei yang dilakukan Wahid Foundation ini bisa dipakai sebagai salah satu rujukan penyusunan kebijakan menjadikan perempuan sebagai agen perdamaian dana gen perubahan.
Ini baru tercapai jika perempuan menduduki posisi-posisi strategis. Ironisnya, ujar Yohana, jumlah keterwakilan perempuan di lembaga legislatif masih kecil, yaitu hanya 17%. Sementara di posisi eksekutif, baru 86 perempuan yang menduduki jabatan bupati, wakil bupati, wali kota, atau wakil wali kota. [fw/em]