Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengecam pernyataan Menko Perekonomian Darmin Nasution terkait dukungan terhadap studi yang dilakukan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) tentang berbagai kebaikan dari kelapa sawit.
Dalam studi tersebut disebutkan bahwa minyak kelapa sawit jauh lebih efisien dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Disebut efisien karena tidak membutuhkan lahan yang luas untuk menghasilkan satu ton kelapa sawit, tidak seperti minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari. Dengan adanya penelitian ini, Darmin berharap bisa melawan kampanye hitam terhadap produk kelapa sawit Indonesia di mata dunia.
Manager Kajian Eksekutif Nasional WALHI, Boy Even Sembiring dalam konferesi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (20/2), mengatakan pernyataan Darmin tersebut adalah opini yang menyesatkan karena menunjukkan bahwa pemerintah hanya berpihak pada kepentingan pelaku bisnis industri kelapa sawit, dan tidak memperhatikan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh pengalihan area hutan menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit.
Boy juga menilai pernyataan tersebut juga tidak sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang moratorium kelapa sawit, karena dengan adanya pernyataan tersebut, sama saja pemerintah memberikan angin segar bagi pertumbuhan kelapa sawit di Indonesia.
"Kenapa dengan adanya riset IUCN, yang seolah-olah membenarkan kelapa sawit, walaupun ada kerusakannya, kenapa seorang Menteri koordinator memberikan siaran pers yang mendukung ini. Kalau kita lihat sebenarnya siaran pers ini bukan bicara konservasi, bukan bicara penyelematan hutan, bukan berbicara penyelamatan flora dan fauna. Tapi dia sebenarnya bicara untuk melindungi bisnis-bisnis kelapa sawit yang ada di Indonesia. dan terakhir apa yang disampaikan oleh Darmin ini menjaga semangat Indonesia, melegalkan kejahatan perkebunan kelapa sawit, ada banyak kelapa sawit di kawasan hutan, yang sebenarnya pelanggaran hukum , seharusnya secara jujur dia merespon seperti itu, apalagi Darmin seorang peneliti, akademisi seharusnya gak patut dia mengeluarkan siaran pers yang penuh kebohongan dan kepalsuan," kritiknya.
Ditambahkannya, upaya pemerintah untuk meminimalisir dampak lingkungan akibat perkebunan kelapa sawit ini masih dirasa kurang. Saat ini, menurutnya, pemerintah cenderung selalu bersemangat meningkatkan produksi kelapa sawit dengan alasan berguna bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Pihak pemerintah, kata Boy sampai saat ini belum memperbaiki tata kelola, menegakkan hukum, memulihkan hak rakyat serta memberikan tempat yang nyaman bagi flora dan fauna yang terkena imbas dari adanya perkebunan kelapa sawit tersebut.
Sementara itu, Manager Kampanye Pangan, Air dan ekosistem esensial Walhi Wahyu Perdana menyimpulkan Darmin tidak secara keseluruhan membaca riset tentang kelapa sawit yang dilakukan oleh IUCN ini. Padahal dalam riset tersebut dengan jelas menyatakan dampak penggundulan hutan yang sangat besar di kawasan Asia, dan yang paling banyak terjadi di kawasan Indonesia dan Malaysia. Tidak hanya itu, dengan adanya perkebunan kelapa sawit tersebut menyumbang peningkatan emisi gas rumah kaca yang berkibat pada meningkatnya ancaman pemanasan global.
"Pada bab yang terkait dampak di riset itu dampaknya terlalu besar, bahkan jika itu harus dikorbankan untuk kepentingan atas nama energi. Bahwa dalam riset itu disebutkan setidaknya 50 persen sawit, risetnya bukan hanya dilakukan di Indonesia tapi juga termasuk di Afrika 50 persen bertanggung jawab terhadap deforestasi. Kalau kemudian masuk pada biodefirsitas, sebagai kor kerjanya IUCN disebutkan dalam riset itu angka keragaman pohon dan tanaman turun 99 persen. Keragaman fauna beragam dari lokasi riset itu dilakukan 65-90 persen. Tertinggi berada pada wilayah Asia khususnya dalam riset itu disebutkan di Indonesia dan Malaysia. Jadi kalau kemudian berkata bahwa pendekatannya hanya produktifitas itu agak masalah," ungkap Wahyu.
Menanggapi pernyataan Walhi tersebut , Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud kepada VOA mengatakan pihak Walhi boleh berkomentar apa saja, terutama yang terkait dengan lingkungan, karena itu merupakan fokus daripada organisasi tersebut. Meski begitu, Musdhalifah menyatakan bahwa semangat pemerintah untuk meningkatkan produktivitas industri kelapa sawit sudah sejalan dengan pembangunan berkelanjutan atau suistainable development goals (SDGs) keseluruhan sebanyak 17 aspek, dimana salah satunya adalah aspek lingkungan hidup.
Pemerintah, kata Musdhalifah, tidak mementingkan kepentingan pelaku industri kelapa sawit seperti yang disebutkan oleh Walhi. Namun semangatnya adalah mewujudkan tujuan SDGs tersebut. Ia pun akui, bahwa memang selalu ada dampak postif dan negatif dari hal apapun, termasuk dari industri kelapa sawit tersebut. Musdhalifah menyatakan bahwa selama ini pemerintah selalu berupaya dengan seksama untuk meminimalisasi dampak buruk dari hal ini utamanya dampak lingkungan.
"Kita sekarang sudah melihat bagaimana mengatasi tumpang tindih lahan dengan one policy. Kita mengatasi kebakaran hutan, membangun sistem untuk moratorium, ada PTTKH, penguatan Ispos, suistanable palm oil, nah itu kan kita perbaiki semua sistem," ujar Musdhalifah.
Selanjutnya, ia menambahkan, "Kemudian kita melakukan replanting itu sebagai bagian dari upaya-upaya pemerintah dan itu banyak sekali, bukan hanya satu. Kita banyak sekali yang kita kembangkan, jadi kita sudah tidak lihat dari satu aspek, kita melihat keseluruhan aspek. Gak bisa kita lihat single view, harus whole view, semuanya, untuk kepentingan semuanya, yang penting kan dijaga itu. Sekarang bagaimana pelanggaran itu bisa diminimalkan. Bagaimana penegasan hukum bisa dijalankan dengan baik dan pemerintah sudah melakukan banyak upaya untuk memperbaiki yang mungkin belum bisa teratasi." (gi/em)