Belum juga usai kasus sengketa lahan antara petani dengan Kabupaten Ogan Ilir dengan PT Perkebunan Nasional (PTPN) 7 unit usaha Cinta Manis, muncul penangkapan 12 orang petani oleh polisi stempat dengan tuduhan pembakaran kebun tebu dan mess karyawan perusahaan perkebunan itu.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Selatan Anwar Sadat kepada VoA Senin (23/7) mengatakan, polisi terus melakukan teror penangkapan terhadap para petani dengan tuduhan yang tidak ada kebenarannya. Selain itu, menurut Anwar, polisi juga merusak tanaman milik warga.
“Bukan hanya penangkapan, tapi juga penyerbuan dengan diiringi dengan tindakan lainnya, pemukulan, penganiayaan dan pencurian harta benda milik warga, sampai pada pelecehan. Kemudian pos dan tanaman milik masyarakat juga ikut dihancurkan,” ujarnya.
Sejak Kamis hingga Minggu lalu, polisi menangkap 12 orang petani, termasuk juga seorang ibu dan anaknya yang masih balita.
Kepala Polisi Resort Ogan Ilir Sumatra Selatan, Ajun Komisaris Besar Polisi Deni Daharmapala kepada VoA memastikan, ibu dan balita itu memaksa ikut untuk menemani suaminya yang ditangkap polisi. Ia menambahkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan, sembilan dari 12 petani dijadikan tersangka kasus pembakaran kebun tebu dan mess karyawan perusahaan perkebunan itu.
“Kalau yang kemarin, termasuk ibu-ibu itu kita tidak melakukan penahanan, karena tidak ada bukti keterlibatan melakukan pidana atau melawan hukum, jadi kita pulangkan malam itu juga. Kalau yang 12 orang yang kita amankan waktu di lokasi rayon 3, dari hasil interogasi dari keterangannya, 9 orang memenuhi unsur tersangka, dan selebihnya kita perbolehkan pulang,” ujar Deni.
Ia enggan menanggapi klaim Walhi mengenai teror penangkapan dan perusakan tanaman milik warga oleh polisi.
Konflik agraria di Kabupaten Ogan Ilir Sumatra Selatan yang berlarut-larut membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) turun tangan, Anggota Komisi III DPR RI Eva Sundari kepada VoA mengatakan bahwa dari laporan yang ia terima, para petani telah menanam kelapa sawit sebelum PTPN 7 ini beroperasi, dan polisi terlihat hanya mendengar laporan dari pihak PTPN7.
“Dari laporan yang saya terima, mereka bisa buktikan bahwa mereka sudah menanam sawit jauh sebelum PTP bergerak. Nah kenapa ketika massa saat ini mau panen kok justru itu malah diklaim oleh PTP. Nah kenapa hal-hal seperti ini tidak menjadi fakta. Polisi langsung tiba- tiba sepihak merespon permintaan PTP. Saya merasa kalau dialog itu dibangun, itu bisa akan berbuah penyelesaian yang win-win solution. Jadi yang saya sesalkan, polisi ini tidak berhasil menjadi mediator ya,” ujar Eva.
Sebelumnya pada awal Juli lalu, para petani Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mendistribusikan kembali lahan-lahan yang disengketakan warga dengan PTPN 7 unit usaha Cinta Manis.
Anwar dari Walhi mengatakan, BPN menyetujui dibentuknya tim inventarisasi terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN7. HGU milik PTPN 7 hanya mencapai 6.500 hektar, sedangkan izin prinsip terkait dengan inventarisasi lahan mencapai 20.000 hektar. Walhi Sumatra Selatan menilai sekitar 13.500 lahan yang dikerjakan oleh PTPN 7 tak memiliki alas hak karena belum mendapatkan sertifkat dari BPN.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Selatan Anwar Sadat kepada VoA Senin (23/7) mengatakan, polisi terus melakukan teror penangkapan terhadap para petani dengan tuduhan yang tidak ada kebenarannya. Selain itu, menurut Anwar, polisi juga merusak tanaman milik warga.
“Bukan hanya penangkapan, tapi juga penyerbuan dengan diiringi dengan tindakan lainnya, pemukulan, penganiayaan dan pencurian harta benda milik warga, sampai pada pelecehan. Kemudian pos dan tanaman milik masyarakat juga ikut dihancurkan,” ujarnya.
Sejak Kamis hingga Minggu lalu, polisi menangkap 12 orang petani, termasuk juga seorang ibu dan anaknya yang masih balita.
Kepala Polisi Resort Ogan Ilir Sumatra Selatan, Ajun Komisaris Besar Polisi Deni Daharmapala kepada VoA memastikan, ibu dan balita itu memaksa ikut untuk menemani suaminya yang ditangkap polisi. Ia menambahkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan, sembilan dari 12 petani dijadikan tersangka kasus pembakaran kebun tebu dan mess karyawan perusahaan perkebunan itu.
“Kalau yang kemarin, termasuk ibu-ibu itu kita tidak melakukan penahanan, karena tidak ada bukti keterlibatan melakukan pidana atau melawan hukum, jadi kita pulangkan malam itu juga. Kalau yang 12 orang yang kita amankan waktu di lokasi rayon 3, dari hasil interogasi dari keterangannya, 9 orang memenuhi unsur tersangka, dan selebihnya kita perbolehkan pulang,” ujar Deni.
Ia enggan menanggapi klaim Walhi mengenai teror penangkapan dan perusakan tanaman milik warga oleh polisi.
Konflik agraria di Kabupaten Ogan Ilir Sumatra Selatan yang berlarut-larut membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) turun tangan, Anggota Komisi III DPR RI Eva Sundari kepada VoA mengatakan bahwa dari laporan yang ia terima, para petani telah menanam kelapa sawit sebelum PTPN 7 ini beroperasi, dan polisi terlihat hanya mendengar laporan dari pihak PTPN7.
“Dari laporan yang saya terima, mereka bisa buktikan bahwa mereka sudah menanam sawit jauh sebelum PTP bergerak. Nah kenapa ketika massa saat ini mau panen kok justru itu malah diklaim oleh PTP. Nah kenapa hal-hal seperti ini tidak menjadi fakta. Polisi langsung tiba- tiba sepihak merespon permintaan PTP. Saya merasa kalau dialog itu dibangun, itu bisa akan berbuah penyelesaian yang win-win solution. Jadi yang saya sesalkan, polisi ini tidak berhasil menjadi mediator ya,” ujar Eva.
Sebelumnya pada awal Juli lalu, para petani Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mendistribusikan kembali lahan-lahan yang disengketakan warga dengan PTPN 7 unit usaha Cinta Manis.
Anwar dari Walhi mengatakan, BPN menyetujui dibentuknya tim inventarisasi terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN7. HGU milik PTPN 7 hanya mencapai 6.500 hektar, sedangkan izin prinsip terkait dengan inventarisasi lahan mencapai 20.000 hektar. Walhi Sumatra Selatan menilai sekitar 13.500 lahan yang dikerjakan oleh PTPN 7 tak memiliki alas hak karena belum mendapatkan sertifkat dari BPN.