Moderasi Islam adalah wacana yang belakangan digaungkan kembali. Fenomena ekstrimisme berdasar agama menjadi salah satu penyebabnya.
Jika ditilik ke belakang, moderasi bukan persoalan baru bagi Islam di Indonesia. Di sebagian wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejarah mencatat peran sembilan tokoh Islam yang dikenal sebagai Walisongo. Bukan hanya karena menjadi penyebar agama Islam pada masanya, mereka juga dikenal juga karena sikapnya yang moderat. Dalam diskusi daring tentang moderasi beragama, Direktur Wahid Institute, Yenny Wahid menyebutkan salah satu contohnya.
“Islam di Nusantara disebarkan melalui cara yang sangat simpatik. Sunan Kudus, orang Jawa Tengah sangat memahami bagaimana beliau menguatkan narasi atau menciptakan narasi, bahwa sapi adalah hewan yang dihormati, sehingga mendapatkan simpati dari masyarakat Hindu,” kata Yenny.
Yenny, yang bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh, mengutip kisah itu ketika menjadi pembicara dalam diskusi daring tentang "Moderasi Beragama Berbasis Indigenous Religiosity: Merawat Tradisi Keagamaan Walisongo Dalam Kerangka Moderasi Beragama." Diskusi diselenggarakan Rumah Moderasi Beragama, UIN Walisongo Semarang, Rabu (15/7).
Moderasi Sejak Jaman Wali
Warisan besar ajaran Sunan Kudus itu masih diselenggarakan di sebagian wilayah Jawa Tengah bagian Utara. Umat Muslim di kala Idul Adha misalnya, memilih untuk menyembelih kerbau sebagai ganti sapi. Begitupun sejumlah menu makanan berbahan daging yang menghindari daging sapi. Arsitektur Masjid Menara Kudus yang dibangun pada 1.459 oleh Sunan Kudus, juga mengadopsi gaya Hindu di sebagian bangunannya.
Yenny Wahid menambahkan, Islam perlu membangun resiliensi atau daya tahan umatnya dari godaan gerakan ekstrimisme. Salah satu modal penting untuk mendukungnya, adalah indigenous religiosity, atau sikap keberagamaan berdasar nilai-nilai masyarakat asli Indonesia. Pilihan sikap Walisongo ketika menyebarkan agama Islam di Indonesia, adalah contoh nyata yang bisa diadopsi.
“Mereka menarik hati orang-orang yang sebelumnya menganut paham di luar Islam, seperti animisme dan sebagainya. Ditarik hatinya, direbut pikirannya, dengan cara tanpa mengeksklusi ekspresi-ekspresi kebudayaan yang sebelumnya ada,” papar Yenny.
Putri Gus Dur melanjutkan, sejumlah pihak mengatakan Walisongo terlalu mengandalkan kebudayaan dalam kiprahnya. Namun, Yenny memastikan penggunaan kebudayaan tidak bermasalah, karena tidak ada dikotomi antara budaya dengan agama. Dalam Islam ada pemahaman bersama, bahwa adat di tengah masyarakat, bisa menjadi salah satu sumber positif.
Apa yang diajarkan Walisongo berdampak sampai saat ini, karena di Indonesia tidak ada luka warisan antargenerasi sebagai dampak dari penyebaran agama. Cara-cara moderat yang dilakukan para Wali, terbukti ampuh menyebarkan Islam secara damai.
Budayawan asal Semarang, Supriyanto GS mengulas kisah Sunan Kalijogo, salah satu tokoh dari Walisongo, yang begitu membumi sebagai pemikir muslim sekaligus budayawan. Sunan Kalijogo dikenal dengan berbagai warisan yang menjadikan kekayaan budaya lokal di masa lalu, sebagai modal menyebarkan ajaran agama.
Sunan Kalijogo sebagai seorang ulama di masa lalu, kata pria yang akrab dipanggil Prie GS ini, adalah juga seorang ilmuwan sekaligus budayawan. Dia mengembangkan gamelan hingga bentuknya seperti sekarang ini, termasuk pemanfaatan metalurgi. Kelebihannya sebagai ilmuwan dan budayawan menyatu dalam pengembangan wayang, termasuk gamelan di dalamnya.
“Sunan Kalijogo itu merevolusi pakeliran wayang yang kemudian ada geber. Dengan geber itu, wayang menjadi sangat dramatik, sangat teatrikal, karena ada bayangan, ada dimensi, ada imajinasi yang kongkrit,” kata Prie GS.
Wayang kemudian dikenal sebagai cara moderat bagi Sunan Kalijogo dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Tidak hanya teknis pertunjukannya yang dikembangkan, kisah di dalamnya juga disesuaikan untuk menunjukkan wajah agama yang damai.
Moderasi Bermakna Keseimbangan
Turut menjadi pembicara dalam diskusi ini, Menteri Agama RI periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin. Lukman dikenal pula sebagai pencetus wacana moderasi beragama di Indonesia.
Lukman menggarisbawahi kecenderungan masih adanya kesalahpahaman, yang memaknai moderasi sebagai upaya mengajak umat beragama menjauh dari ajarannya. Moderasi melahirkan sikap toleransi, tetapi sikap ini dinilai membuat orang tidak serius, tidak teguh dan tidak bersungguh-sungguh dalam beragama. Orang moderat yang toleran juga dipandang tidak peduli terhadap komunitas beragama atau terhadap simbol-simbol keagamaan.
Padahal, kata Lukman, moderasi berlaku pada sikap dan cara, bukan terhadap agama itu sendiri. “Jadi, moderasi agama adalah upaya kita bersama, untuk bagaimana membuat moderat. Moderat dalam artian tidak berlebih-lebihan, tidak ekstrem dalam beragama. Jadi yang dimoderasi itu cara kita beragama, bukan agamanya itu sendiri,”ujar Lukman.
Agama, tambah Lukman, tidak lagi dipersoalkan kebenarannya. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara umat memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama itu sendiri. Agama itu sempurna, kata Lukman, tetapi keterbatasan manusia bisa menjerumuskan pada pemahaman dan pengamalan yang berlebih-lebihan atau biasa disebut ekstrim.
Lukman juga mengingatkan, moderasi bermakna mengambil posisi di tengah, tidak ekstrim kanan maupun kiri. Kelompok kanan akan cenderung mengarah pada ekstrimisme, sedangkan di kiri mendekati liberal yang serba permisif. Moderat bermakna diantara keduanya, tidak hanya melawan ekstrimisme, tetap juga mereka yang terlalu liberal.
“Kaum moderat seringkali disalahpahami berupaya menghadapi yang ekstrim kanan saja, sehingga kemudian kaum moderat diidentikkan dengan kelompok liberal, lawan dari terlalu kanan. Ini sesuatu yang harus diluruskan. Kita ajak untuk senantiasa di tengah, yang dihadapi tidak hanya yang di kanan, tetapi juga yang di kiri,” kata Lukman. [ns/ab]