ACEH BESAR/JAKARTA —
Ribuan warga berkumpul di daerah Pelabuhan Malahayati, kabupaten Aceh Besar, Aceh, Rabu (26/12), untuk mengenang para korban gempa dan tsunami yang menimpa provinsi tersebut pada 26 Desember 2004.
Dalam peringatan yang diisi doa dan dzikir bersama tersebut, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menekankan penguatan kemampuan aparat pemerintah dan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi bencana alam di provinsi itu.
“Meningkatkan keimanan kepada Tuhan, tsunami menyadarkan kita agar peduli terhadap pelestarian lingkungan dan tetap waspada terhadap kemungkinan bencana yang bisa datang kapan saja.Tingkatkan kewaspadaan dan kepekaan, sehingga kita bisa menyelamatkan masyarakat dari ancaman bencana,” ujar Zaini.
Ia memuji komitmen negara sahabat mitra pemerintah Indonesia yang terus berupaya sepenuh hati terlibat untuk program-program riset mengenai kebencanaan dan penanggulangannya, terutama terkait gempa dan tsunami.
”Kita kedatangan tamu dari berbagai negara termasuk rombongan guru-guru dari Jepang,” ujar Zaini.
Momentum peringatan tsunami Aceh dihadiri pula beberapa delegasi yang merupakan perwakilan negara sahabat, badan donor dan organisasi internasional yang berpartisipasi untuk program riset tsunami terutama delegasi anggota perhimpunan negara Asia Tenggara ASEAN, Jepang , Amerika Serikat dan perwakilan dari Uni Eropa.
Gempa bumi berkekuatan 9,1 Skala Richter dan tsunami menghantam Aceh, dan juga dirasakan sejumlah daerah dan negara terdekat. Bencana alam itu, merenggut lebih dari 100.000 jiwa dan menghancurkan daratan di pesisir barat Aceh.
Setelah delapan tahun, para ahli mengatakan bahwa ternyata masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai, seperti ketersediaan rumah tinggal bagi para korban.
Peneliti sekaligus pendiri lembaga penelitian Aceh Institute Otto Syamsuddin Ishak kepada VOA mengatakan untuk wilayah Aceh Barat masih ada warga yang belum mendapat rumah. Ironisnya, ada rumah-rumah untuk korban tsunami itu yang dikuasai oleh agen-agen rumah dan kepala desa.
“Jika dilihat dari segi pengadaan (rumah) itu sudah cukup. Tapi yang menjadi masalah adalah soal distribusi yang belum beres sampai sekarang. Jadi kita bisa lihat ada rumah yang kosong. Ada pula rumah yang dikuasai oleh agen, kemudian kepala desa yang mengisi rumah itu dengan saudara-saudaranya,” ujar Otto.
“Sementara itu dari sisi lain, para korban tsunami justru masih ada yang belum mendapat tempat tinggal. Ini juga menyangkut soal pendataan yang sudah di luar batas toleransi. Orang-orang yang mendaftar untuk perolehan rumah semakin banyak, seperti dapat di lihat di Aceh Barat.”
Menanggapi hal itu, staff hubungan masyarakat Pemerintah Aceh, Usamah El Madny, mengatakan bahwa berdasarkan dari pendataan yang sejak awal dihimpun oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh–Nias, seluruh korban Tsunami Aceh sudah mendapat rumah. Namun menurutnya, masih ada masyarakat yang mengaku belum mendapat rumah.
“Sebenarnya secara data-data itu sudah ter-cover semua. Tetapi kenyataannya di lapangan masih saja ada sejumlah warga yang mengaku belum mendapat rumah. Tapi tentu seiring dengan berakhirnya BRR, pemerintah terus mencari jalan keluar agar masyarakat bisa mendapat hak-hak mereka. Dari informasi yang kami terima, mereka yang belum mendapat rumah karena terlambat melapor ke BRR pada waktu itu, atau hunian sementara mereka ada di rumah kontrakan, sehingga menyulitkan dalam proses pendataan,” ujar Usamah.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan memulai pelaksanaan rencana induk pengurangan risiko bencana tsunami pada 2013.
Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, sesuai dengan perintah Presiden kepada BNPB, maka mulai awal 2013 akan dimulai pelaksanaan Masterplan Pengurangan Risiko Bencana Tsunami. Hal tersebut dilakukan, menurutnya, mengingat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana, khususnya tsunami masih lemah.
“Ya nanti di dalam masterplan pengurangan resiko bencana yang kita mulai 2013 nanti, akan dipasang atau ditambahi beberapa instrument alat deteksi gempa bumi tsunami di beberapa wilayah yang berpotensi 2 hal itu. Termasuk pemasangan sistim peringatan dini dengan berbasis komunitas,” ujarnya.
Dalam peringatan yang diisi doa dan dzikir bersama tersebut, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menekankan penguatan kemampuan aparat pemerintah dan pengetahuan masyarakat dalam menghadapi bencana alam di provinsi itu.
“Meningkatkan keimanan kepada Tuhan, tsunami menyadarkan kita agar peduli terhadap pelestarian lingkungan dan tetap waspada terhadap kemungkinan bencana yang bisa datang kapan saja.Tingkatkan kewaspadaan dan kepekaan, sehingga kita bisa menyelamatkan masyarakat dari ancaman bencana,” ujar Zaini.
Ia memuji komitmen negara sahabat mitra pemerintah Indonesia yang terus berupaya sepenuh hati terlibat untuk program-program riset mengenai kebencanaan dan penanggulangannya, terutama terkait gempa dan tsunami.
”Kita kedatangan tamu dari berbagai negara termasuk rombongan guru-guru dari Jepang,” ujar Zaini.
Momentum peringatan tsunami Aceh dihadiri pula beberapa delegasi yang merupakan perwakilan negara sahabat, badan donor dan organisasi internasional yang berpartisipasi untuk program riset tsunami terutama delegasi anggota perhimpunan negara Asia Tenggara ASEAN, Jepang , Amerika Serikat dan perwakilan dari Uni Eropa.
Gempa bumi berkekuatan 9,1 Skala Richter dan tsunami menghantam Aceh, dan juga dirasakan sejumlah daerah dan negara terdekat. Bencana alam itu, merenggut lebih dari 100.000 jiwa dan menghancurkan daratan di pesisir barat Aceh.
Setelah delapan tahun, para ahli mengatakan bahwa ternyata masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai, seperti ketersediaan rumah tinggal bagi para korban.
Peneliti sekaligus pendiri lembaga penelitian Aceh Institute Otto Syamsuddin Ishak kepada VOA mengatakan untuk wilayah Aceh Barat masih ada warga yang belum mendapat rumah. Ironisnya, ada rumah-rumah untuk korban tsunami itu yang dikuasai oleh agen-agen rumah dan kepala desa.
“Jika dilihat dari segi pengadaan (rumah) itu sudah cukup. Tapi yang menjadi masalah adalah soal distribusi yang belum beres sampai sekarang. Jadi kita bisa lihat ada rumah yang kosong. Ada pula rumah yang dikuasai oleh agen, kemudian kepala desa yang mengisi rumah itu dengan saudara-saudaranya,” ujar Otto.
“Sementara itu dari sisi lain, para korban tsunami justru masih ada yang belum mendapat tempat tinggal. Ini juga menyangkut soal pendataan yang sudah di luar batas toleransi. Orang-orang yang mendaftar untuk perolehan rumah semakin banyak, seperti dapat di lihat di Aceh Barat.”
Menanggapi hal itu, staff hubungan masyarakat Pemerintah Aceh, Usamah El Madny, mengatakan bahwa berdasarkan dari pendataan yang sejak awal dihimpun oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh–Nias, seluruh korban Tsunami Aceh sudah mendapat rumah. Namun menurutnya, masih ada masyarakat yang mengaku belum mendapat rumah.
“Sebenarnya secara data-data itu sudah ter-cover semua. Tetapi kenyataannya di lapangan masih saja ada sejumlah warga yang mengaku belum mendapat rumah. Tapi tentu seiring dengan berakhirnya BRR, pemerintah terus mencari jalan keluar agar masyarakat bisa mendapat hak-hak mereka. Dari informasi yang kami terima, mereka yang belum mendapat rumah karena terlambat melapor ke BRR pada waktu itu, atau hunian sementara mereka ada di rumah kontrakan, sehingga menyulitkan dalam proses pendataan,” ujar Usamah.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan memulai pelaksanaan rencana induk pengurangan risiko bencana tsunami pada 2013.
Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, sesuai dengan perintah Presiden kepada BNPB, maka mulai awal 2013 akan dimulai pelaksanaan Masterplan Pengurangan Risiko Bencana Tsunami. Hal tersebut dilakukan, menurutnya, mengingat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana, khususnya tsunami masih lemah.
“Ya nanti di dalam masterplan pengurangan resiko bencana yang kita mulai 2013 nanti, akan dipasang atau ditambahi beberapa instrument alat deteksi gempa bumi tsunami di beberapa wilayah yang berpotensi 2 hal itu. Termasuk pemasangan sistim peringatan dini dengan berbasis komunitas,” ujarnya.