Suhu ekstrem ini disebabkan oleh tidak stabilnya tekanan udara dingin yang biasanya mengitari Kutub Utara, dikenal juga sebagai polar vortex. Akibatnya, udara dingin tersebut terbawa ke Amerika Serikat dan Kanada.
Yang terkena dampak paling buruk adalah kota-kota di sebelah utara Amerika Serikat, seperti Chicago, Minneapolis, dan Milwaukee.
Bagaimana pengalaman diaspora Indonesia yang tinggal di kawasan terdingin di Amerika Serikat saat ini?
Beatrix Stein di Chicago, Illinois
“Ini selalu dingin (di Chicago) kalau musim dingin, tapi ini dinginnya lebih ekstrem,” kata Beatrix.
Beatrix juga mendengar bahwa warga bisa terkena frostbite hanya dalam hitungan menit.
Frostbite atau radang dingin adalah kondisi di mana kulit dan jaringan di bawah kulit membeku dan mati rasa akibat terekspos suhu dingin. Jaringan tersebut bisa mati jika terus terekspos dan tidak langsung diatasi.
Karena cuaca dingin brutal ini, sekolahan ditutup dari hari Rabu (30/1) sampai Kamis.
“Kemarin (sebelum sekolah ditutup) bus sekolah anak saya sempat telat 12 menit, jadi mereka harus sempat nunggu di luar.
“Saya tanya anak saya, 'itu rasanya kaya gimana?' Kata dia, kakinya sudah nggak berasa apa-apa," kata Beatrix.
Menurut Beatrix, daerah tempat tinggalnya seperti kota mati. Banyak restoran, toko, dan supermarket yang ditutup. Penerbangan juga banyak yang dibatalkan.
“Jadi kalau saya lihat ke luar itu, benar-benar tidak ada yang lewat,” katanya. “Nggak ada orang yang mau keluar, semua orang di dalam saja.”
Pambayun Savira di St. Paul, Minnesota
Pam, mahasiswi tahun pertama di University of St. Thomas, juga mengalami suhu sekitar -29°C dengan angin di daerahnya.
Kelas-kelas dibatalkan sejak Selasa siang (29/1). Perpustakaan kampus tempat ia bekerja juga ditutup dari Selasa hingga Kamis pagi.
“Dua menit (di luar) saja itu bisa kena frostbite,” kata Pam. “Aku cuma di rumah saja, soalnya nggak memungkinkan untuk keluar."
Pada hari liburnya, Pam dan keluarga asuhnya bereksperimen melempar air mendidih ke udara dingin ekstrem – yang langsung menjadi salju.
Pam, yang berasal dari Surabaya, merasa cuaca dingin itu mahal karena ia butuh alat penghangat dan baju berlapis-lapis.
“Enak sih kalau bisa main salju satu, dua jam,” katanya. “Tapi kalau terus-terusan dan saljunya nggak pergi-pergi, itu capek juga. Soalnya kalau jalan gampang kepleset, atau kalau saljunya tebal susah banget jalannya.”
Lynn Terpin di Chicago, Illinois
Meski daerah tempat tinggalnya mencapai suhu -31°C dengan angin, Lynn tetap melakukan aktivitas favoritnya – berlari.
“Aku sudah biasa lari, tidak peduli kondisi cuacanya bagaimana,” kata Lynn. “Lari biasanya empat sampai enam mil (6-9 km).”
Namun, Lynn, yang tinggal di Chicago sejak 1987, harus menggunakan perlengkapan ekstra sebelum berlari di suhu di bawah beku. Terlebih karena angin kering dan dingin mempersulit bernapas.
“Kita pakai kaos kaki dua, pakai balaclava (penutup muka),” ujar Lynn. “Terus pakai bandana di leher, komplit lah, sarung tangan, dan penghangat tangan. Tapi sesudahnya, kedinginan juga jari-jarinya.”
Menurut Lynn, matahari sangat membantu untuk memberi kehangatan saat berlari di musim dingin. Ia selalu siap lari tiga kali seminggu, tidak peduli cuacanya.
“Biasanya ramai-ramai, tapi Selasa kemarin karena nggak ada yang mau keluar, aku sendirian. Nekat!” katanya sambil tertawa. [np/dw/rh]