Diakui atau tidak, sebagian waria masuk dalam kelompok penerima zakat jika ditilik menurut definisi umum, yaitu mereka yang tergolong fakir dan miskin. Namun, ada perbedaan penafsiran landasan hukum agama yang menempatkan mereka bukan sebagai penerima.
Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) Maulidi Al Hasany menyarankan, waria untuk mengelola zakat secara mandiri, agar terlepas dari dampak silang pendapat itu.
“Ketika temen-temen itu dianggap sebagai kelompok sendiri, bukan NU, bukan Muhammadiyah, termasuk tidak masuk komunitas Persis, mereka paling tidak menggalang dana zakat itu untuk komunitas mereka sendiri, atas nama fakir miskin. Tidak perlu dialihkan ke teman di luar waria,” kata Maulidi.
Saran itu disampaikannya dalam diskusi “Zakat untuk Transpuan Dhuafa” yang diselenggarakan Suara Kita, Jumat (7/5) malam.
Konsep Kesalehan Sosial
Maulidi menyebut, sebenarnya ada banyak dasar hukum Islam yang dapat menguatkan waria sebagai penerima zakat. Misalnya, bahwa mereka ditetapkan sebagai penerima waris yang sah. Karena itu, lanjut Maulidi, justru menjadi aneh jika dalam konteks zakat sebagai persoalan filantropis, mereka justru tidak diakui sebagai penerima.
“Konsep zakat, wakaf ,segala macam infak dan sedekah ini kan aspek kesalehan sosial. Kenapa justru mereka tidak dapat. Persoalan kemiskinan itu yang menjadi landasan utama, yang kedua adalah persoalan human dignity,” lanjut Maulidi.
Ide mendirikan sendiri lembaga pengelola zakat, infak dan sedekah di lingkungan waria menurut Maulidi menjadi jalan keluar praktis. Karena kemungkinan akan terganjal dalam urusan formalitas negara, dia menyarankan lembaga ini tidak harus formal.
Pendapat Maulidi didukung oleh Arif Nuh Safri, akademisi muslim yang juga guru di Pesantren Waria Al Fatah, Kotagede, Yogyakarta. Membuat lembaga formal yang diakui pemerintah dan badan zakat nasional agak mustahil bagi komunitas waria.
“Walaupun ini menjadi wacana untuk dijadikan lembaga zakat, tetapi saya pastikan agak berat. Identitas temen-temen ini terlalu rumit untuk diterima oleh pemerintah. Apalagi kalau diatasnamakan MUI nanti,” ujar Arif.
Arif menekankan bahwa prinsip zakat adalah pengentasan kemiskinan dan solidaritas keamanusiaan atau sosial. Karena, meski mengaku bukan sebagai ahli fikih atau hukum agama, Arif meyakini tidak ada sekat, baik agama maupun ekspresi gender, dalam soal zakat. Paling penting diperhatikan, ujarnya, adalah bahwa para penerima nantinya benar-benar sesuai aturan.
Pemberdayaan Internal
Shinta Ratri dari Pondok Pesantren Waria Al-Fatah memastikan mayoritas dari mereka berhak menerima zakat.
“Penerima zakat itu tidak hanya waria dhuafa, tetapi waria-waria ini juga orang yang banyak hutang, jadi ada dua kategori disini, yang banyak hutang dan yang dhuafa,” ujarnya.
Sedangkan aktivis waria Rully Mallay menyebut, bukan hanya sebagai penerima, kelompok waria juga memiliki potensi dalam pengelolaan dana zakat sendiri. Dia mengatakan, menurut data saat ini dari sekitar 38 ribu waria di Indonesia, ada sekitar 30 ribu waria yang Muslim.
“Jika bisa menunaikan zakat Rp15 ribu saja, maka setiap tahun akan terkumpul Rp450 juta. Katakanlah ada seperempat bisa zakat mal Rp100 ribu, akan terkumpul Rp 750 juta. Itu angka fantastis,” ujar Rully.
Pengelolaan zakat internal di kalangan waria ini, kata Rully, akan menjadi penguatan internal komunitas dalam pengelolaan sumber daya. Saling bantu antara waria yang mampu dan tidak akan terjalin dengan sendirinya.
Tidak Harus Formal
Hamid Abidin, Direktur Filantropi Indonesia juga mendorong waria untuk mengelola zakat secara mandiri. Jauh sebelum muncul lembaga-lembaga pengelola zakat seperti saat ini, sistem pengelolaan oleh komunitas telah terjalin. Filantropi Indonesia juga mendorong lembaga-lembaga lain, untuk masuk ke sektor pengelolaan dana Zakat, Infak dan Shodaqoh (ZIS) seperti halnya kebanyakan organisasi keagamaan besar di Indonesia.
“Saya mendorong, kalaupun nanti tidak bisa masuk pada zakat, ya bermain-main di infak dan shodaqoh, dan donasi secara umum. Itu mungkin lebih aman dan potensinya sebenarnya jauh lebih besar,” kata Hamid.
Saat ini, lanjut Hamid, yang perlu dilakukan adalah penyusunan strategi penggalangan dana. Isu waria harus dapat dikomunikasikan dengan baik agar menyentuh masyarakat.
Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha'i, M.H.I. juga menyebut, secara hukum agama tidak ada kendala dalam soal pengelolaan ZIS oleh waria.
“Secara fikih, tidak ada soal bahwa komunitas waria ikut menggalang dana zakat itu, dan bisa didistribusikan juga utuk kelompoknya sendiri,” kata Imam yang juga pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyyah, Sukorejo, Situbono, Jawa Timur.
Imam menyebut, lembaga fatwa di Mesir sudah menyebutkan, bahwa zakat fitrah dan zakat lain juga bisa diberikan kepada non-muslim. Jika membaca fatwa itu, kata Imam, tidak ada alasan lagi pembagian zakat didasarkan perbedaan keyakinan atau perbedaan orientasi jenis kelamin.
“Banyak ruang yang bisa digunakan untuk memberikan atau memberdayakan kelompok yang memang secara sosial rentan. Saya kira, secara fikih tidak ada soal. Tinggal bagaimana menjalankannya,” kata Imam. [ns/em]