Wartawan yang berusaha meliputi kunjungan tiga hari pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi di Thailand, akan merasa tidak bebas.
Kunjungan tingkat tinggi itu terjadi di saat Myanmar mengalami transisi dari pemerintahan militer ke demokrasi, sedangkan sebaliknya terjadi di negara tetangga Thailand.
Sekitar 1,4 juta hingga empat juta warga Myanmar bekerja di Thailand, dan sebagian mereka kemungkinan secara ilegal.
Para wartawan diberitahu mereka tidak akan diberi kesempatan mengajukan pertanyaan kepada Aung San Suu Kyi, bahkan dalam apa yang disebut konferensi pers bersama di Bangkok dengan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, yang merebut kekuasaan dalam kudeta tak berdarah dua tahun lalu.
Kementerian Luar Negeri Thailand, dalam agenda yang dikirim kepada para wartawan, juga menyarankan agar fotografer, videografer dan wartawan yang meliput kunjungan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian itu berpakaian secara resmi “dalam semua kesempatan” termasuk dalam kunjungan yang dijadwalkan hari Sabtu kesebuah kamp pengungsi di perbatasan yang hanya bisa dicapai melalui jalan tak beraspal.
Kedatangan Aung San Suu Kyi pada hari Kamis dan keberangkatannya pada hari Sabtu melalui Bandara Suvarnabhumi juga akan terbatas hanya boleh diliput oleh “sekelompok wartawan peliputan” dengan hanya dua wakil dari media internasional yang diizinkan untuk meliputnya. [lt]