Mayoritas pasien yang terkonfirmasi positif COVID-19, dapat sembuh setelah perawatan selama dua pekan. Namun, ada sebagian yang mengalami gejala lebih lama, yang bahkan bisa berdampak pada organ tubuh secara luas.
Trisno, warga Yogyakarta, sudah selesai isolasi mandiri pada 22 Juni lalu. Namun dia bercerita, kondisinya tidak langsung kembali seperti sedia kala. Dini hari, dia sering terbangun karena merasa sesak.
“Sekitar dua minggu lalu saya merasa panas dan pegal, juga mual-mual sampai dua hari dan kondisi drop. Saya minum obat, rasanya lumayan tetapi tetap enggak bisa langsung fit rasanya. Kalau jalan masih sempoyongan. Sekarang sudah baikan. Tapi ini kan berarti saya pulihnya lebih dari sebulan,” kata Trisno kepada VOA, Minggu (25/7).
Pasien yang sembuh lebih lama dari waktu perawatan standar, seperti Trisno, disebut sebagai long COVID. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mulai menyebut munculnya kondisi ini sekitar bulan September 2021.
Makin Berat, Makin Besar Peluang
Dokter spesialis paru di Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM Yogyakarta, dr Siswanto Sp P menyebut, pasien disebut mengalami long COVID di Indonesia jika membutuhkan perawatan hingga empat pekan atau lebih. Biasanya ini terjadi pada pasien yang kondisinya parah. Gejala yang dirasakan tidak hanya di organ paru-paru, tetapi juga bisa menyebar ke organ lain.
“Mereka yang severity-nya makin berat, makin berpeluang untuk terjadinya long COVID, ataupun geriatri, punya penyakit penyerta atau dia mendapatkan terapi oksigen yang lebih advance, seperti NIV atau mechanical ventilator,” kata Siswanto
Siswato berbicara dalam diskusi daring Long COVID dan Pemulihan Pasca COVID-19, Minggu (25/7) yang diselenggarakan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA).
Dia menambahkan, ada tiga golongan terkait kondisi ini. Jika gejala dan tanda COVID masih ditemukan pada pasien hingga empat pekan, disebut sebagai acute COVID. Pada rentang 4-12 pekan, dinamakan sebagai ongoing symptomatic COVID. Sedangkan jika masih bergejala hingga lebih dari 12 pekan, disebut post-COVID syndrome. Dua jenis yang terakhir inilah yang disebut sebagai long COVID.
Kondisi ini memiliki sejumlah sebab. Siswanto merinci, kemungkinan pertama adalah karena kerusakan sel secara lokal ketika virus masuk ke dalam jaringan tubuh. Organ tubuh yang bisa mengalami kerusakan tidak hanya paru-paru sebagai reseptor atau pintu masuk virus. Pembuluh darah dan jantung serta organ lain juga bisa mengalami kondisi yang sama.
“Kedua, adalah apakah kemudian infeksi itu menyebabkan kerusakan yang permanen. Kerusakan permanen terjadi karena saking beratnya serangan itu,” kata Siswanto.
Sebab ketiga adalah inflamasi secara terus-menerus, karena terjadi disregulasi atau respons imun tubuh yang tidak semestinya. Keempat ada perusakan pembuluh darahnya, dan penyebab terakhir adalah faktor stres yang dialami oleh pasien.
“Jadi enggak cuman aspek fisik, tapi juga aspek psikisnya juga bisa berpengaruh,” tambahnya.
Dampak jangka panjangnya, lanjut Siswanto, dapat dipetakan menurut apa yang terjadi. Jika sampai menimbulkan jejas di otot jantung, maka akan terjadi cardiac injury atau cedera jantung yang juga memiliki dampak jangka panjang. Di organ paru, dampaknya cukup jelas. Selain itu, otak juga bisa menerima dampak jangka panjang, termasuk indra penciuman.
“Penting sekali seseorang yang sudah terkena long COVID dilakukan monitoring untuk memastikan bahwa proses penyembuhannya berjalan sempurna,” tambah Siswanto.
Gejala dan Tips Mengatasi
Pasien COVID-19 yang sudah melewati masa perawatan, tetapi masih merasakan sejumlah gejala, patut untuk waspada. Dokter Theressia Handayani dari RS Bethesda Yogyakarta menyebut, gejala yang patut dicermati antara lain mudah lelah, batuk, hilang penciuman, nyeri kepala, mual, diare hingga nyeri dada.
“Tapi tenang saja, long COVID ini tidak menular. Jadi aman, walaupun tetap harus menerapkan protokol kesehatan. Memang masih ada sisanya, dan memang mungkin membutuhkan pemeriksaan ke dokter,” kata Theresia.
Mereka yang memiliki faktor risiko lebih, adalah pasien dengan hipertensi, obesitas dan gangguan kejiwaan, seperti depresi.
Kondisi ini bisa diatasi dengan sejumlah upaya, terutama gaya hidup sehat. Pengaturan makan dengan menu sehat, berolahraga, pengelolaan tidur yang baik,manajemen stres, dan lingkungan sekitar yang mendukung akan sangat berperan.
Meski penting, olahraga bagi penderita long COVID harus dilakukan hati-hati. Pemanasan dan pendinginan harus diperhatikan, mengenakan pakaian longgar, cukup minum dan memperhatikan cuaca di luar. Olahraga harus dihentikan jika merasa mual, nyeri kepala, sesak nafas, keringat berlebih dan nyeri dada.
“Pasien long COVID cobalah untuk berbicara biasa, jangan berbisik, tidak meninggikan suara atau berteriak. Istirahat jika kehabisan nafas saat berbicara,” lanjut Theresia.
Jika tidak nyaman ketika berbicara, pasien sebaiknya menggunakan media komunikasi lain seperti menulis. Pasien long COVID tidak boleh memaksa berbicara. Jika mengalami kesulitan menelan, bisa dilatih dengan konsentrasi penuh ketika makan. Keluarga pasien long COVID juga kadang melaporkan terjadinya linglung.
“Memang harus dilatih untuk pemulihan otaknya. Mengerjakan teka-teki silang, latihan memori dan membaca untuk melatih,” tambahnya.
Seluruh aktivitas pasien long COVID juga harus disesuaikan. Daftar yang direkomendasikan Theressia antara lain menghemat energi dengan duduk ketika mandi, tidak melakukan kegiatan yang mengharuskan meraih tempat tinggi atau jongkok, meminta bantuan orang lain lebih sering, dan memperbanyak istirahat. Pendeknya, tubuh tidak boleh dipaksa melakukan aktivitas seperti sebelum terkena COVID-19.
Jika terjadi sesak, ingatan tidak baik atau depresi, pasien long COVID disarankan segera menghubungi bantuan profesional dari dokter.
Theressia mengatakan, sekitar 10 persen pasien COVID-19 mengalami long COVID. [ns/ah]