Menteri Perdagangan Indonesia Thomas Lembong menyatakan siap menunggu perintah Presiden Joko Widodo untuk menindaklanjuti kesiapan Indonesia bergabung dalam Kemitraan Trans Pasifik (TPP).
Selengkapnya simak wawancara khusus wartawan VOA Eva Mazrieva, yang dilakukan di sela-sela KTT Investasi Indonesia-Amerika di Washington DC (26/10) berikut ini.
VOA: Dalam KTT Investasi Indonesia-Amerika dan juga pertemuan-pertemuan lain yang dilangsungkan, para pengusaha Amerika menyebut tiga hal yang dinilai menjadi hambatan untuk menanamkan investasi di Indonesia, yaitu regulasi, infrastruktur dan sumber daya manusia. Bagaimana Anda meyakinkan para pengusaha dan investor bahwa Indonesia sedang membenahi hal-hal tersebut?
Menteri Perdagangan Thomas Lembong: Kekhawatiran itu benar, karena itu program pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat fokus dengan ketiga hal itu. Sejak saat kampanye beliau sudah menekankan pada pendidikan dan kesehatan masyarakat sebagai target utama. Boleh dibilang yang paling terkenal dari program-program beliau itu khan “Kartu Indonesia Sehat” dan “Kartu Indonesia Pintar”. Kebijakan itu diambil berdasarkan kesadaran bahwa sumber daya manusia adalah segala-galanya. Ini sudah berjalan.
Soal infrastruktur, sejak awal pemerintahan Jokowi sudah diluncurkan program pembangunan infrastruktur terbesar dalam sejarah Indonesia dan sudah berjalan dengan baik. Contohnya adalah soal pembangunan waduk. Dalam program pembangunan Pak Jokowi ini ada target membangun 65 waduk yang akan dibangun dan 16 waduk sedang dibangun.
Sewaktu saya berkeliling, saya cukup surprise melihat pembangunan waduk yang sudah berjalan. Misalnya waduk Jati Gede di Jawa Barat yang sudah dibangun sejak 20 tahun lalu dan sudah 80 persen tuntas. Tetapi memang ada 100 warga yang sudah diberi kompensasi dan diberitahu berkali-kali, tetapi tidak mau pindah. Tetapi Pak Jokowi dengan keberanian politiknya, tekan tombol dan tetap lanjutkan pembangunan.
Waduk Jati Gede itu akan mengaliri 90 ribu hektar sawah. Tanpa irigasi, sawah ini hanya bisa panen satu kali setahun. Tetapi dengan irigasi, sawah ini bisa dipanen dua kali setahun. Ini kan luar biasa. Sementara soal regulasi – yang berdampak pada sektor swasta dan menyumbang 40-50 persen pada total perekonomian kita – sudah bukan rahasia lagi jika regulasi kita berbelit-belit.
Yang menjadi korban adalah perusahaan-perusahaan dan kebanyakan UKM. Justru kalau perusahaan besar lebih mudah menanggulangi birokrasi dan perizinan yang tumpang tindih dengan menggunakan konsultan hukum dll. Yang berat justru UKM, padahal UKM adalah mayoritas ekonomi, tenaga kerja dan ekspor kita. Jadi memang regulasi menjadi fokus dengan program deregulasi, sama seperti program pembangunan infrastruktur”.
Dalam pertemuan di Tilden, Pak Jokowi sempat menyinggung hal ini. Bagaimana upaya membangun usaha yang membutuhkan 40an regulasi, kini sudah dipangkas menjadi 20an regulasi, dan kabarnya akan terus dikurangi. Demikian pula masa bongkar muat atau dwelling time di pelabuhan yang tadinya bisa 10-15 hari kini menjadi dua sampai tiga hari saja ya?
Betul. Instruksi Pak Presiden sangat jelas. Dalam paket-paket kebijakan deregulasi beliau memprioritaskan langkah-langkah yang langsung dirasakan secara konkret oleh pelaku usaha di lapangan. Yang kita inginkan adalah tiga sampai empat bulan dari sekarang, UKM-UKM melaporkan kepada kita, “Wah dokumen dan formulir yang harus kita isi untuk memperluas usaha berkurang banyak”. Atau persyaratan untuk ekspansi pabrik atau masuk ke daerah baru berkurang drastis. Memang belum sampai ke langkah-langkah besar, ini baru dalam kerangka proses bisnis yang harus dijalankan UKM/perusahaan dari hari ke hari, dari minggu ke minggu dan dari bulan ke bulan”.
Ada empat CEO startup yang diajak dalam lawatan Presiden Joko Widodo ke Amerika, yang terutama akan difokuskan pada program di Silicon Valley nanti. Ketika diwawancarai, mereka menyatakan yang paling mereka harapkan bisa segera terwujud di Indonesia adalah jaringan Internet dan teknologi digital. Keempat CEO muda ini menilai perbaikan infrastruktur dalam kedua bidang itu tidak saja akan mendorong pendidikan tetapi juga bisnis usaha kecil. Bagaimana pemerintah menyikapi hal ini?
Betul. Digital economy, peralatan dan infrastruktur digital memang akan jadi peluang luar biasa untuk maju. Memang dalam kunjungan di AS ini ada beberapa isu besar yang kami sampaikan. Satu, Indonesia dengan jumlah penduduk Islam terbesar yang punya peran khusus dan di abad ke-21 ini Islam menjadi agama yang paling cepat pertumbuhannya.
Dua, isu perdagangan – dengan tercapainya Trans-Pasific Partnership (TPP) yang merupakan pencapaian historis, 12 negara termasuk empat negara di ASEAN yang menguasai 40 persen ekonomi dunia. Tiga, e-commerce – ini terkait dengan digital economy. Jika kita bisa mensosialisasikan penggunaan Internet, aplikasi dan kebiasaan menggunakan komputer dalam bidang pendidikan, kesehatan, perdagangan maka hasilnya akan sangat revolusioner.
Inikah salah satu target ke Silicon Valley?
Banyak hal yang ingin kita bicarakan dengan perusahaan-perusahaan sekelas Google, Apple, Yahoo, Facebook dll di Silicon Valley nanti. Kita tidak bisa menutup mata terhadap penggunaan sosial media dalam berdagang/berusaha di Indonesia dan dunia saat ini. Google juga merupakan sarana yang penting untuk “mencari” sesuatu. Kami ingin Google bisa memperluas/mempertajam/menyesuaikan dengan kebutuhan domestik kami.
Tapi ada satu isu penting lagi yang ingin kami diskusikan dengan perusahaan-perusahaan raksasa itu di Silicon Valley yaitu soal pajak. Banyak keluhan dari pelaku e-commerce domestik karena mereka harus membayar pajak di Indonesia. Tetapi perusahaan asing – Google, Facebook, Alibaba atau Tencent – tidak kena pajak. Ini memang pekerjaan rumah buat saya, Pak Rudiantara dan Pak Bambang Brodjonegoro. Kami harus menyeimbangkan persaingan yang terjadi supaya adil.
Perdagangan Indonesia – dan mungkin seluruh kebijakan pemerintah Indonesia – dalam satu tahun terakhir ini dinilai lebih “inward looking”. Beberapa analis dan pengambil kebijakan di Amerika dan Australia sempat menyampaikan kekhawatiran akan hal ini. Bagaimana menurut Bapak?
Terus terang sebenarnya bukan cuma kita yang “inward looking”. Trennya sudah dimulai sejak 2008, ketika terjadinya krisis ekonomi. Ketika Lehman Brothers collapse dan ekonomi dunia ikut collapse, maka hampir semua negara – termasuk negara-negara maju – yang kaget, shock dengan globalisasi keuangan dimana modal bisa begitu mudah keluar masuk dan merobohkan suatu perekonomian.
Kelihatannya kebijakan “inward looking” itu merupakan reaksi mancanegara itu untuk membangun dinding atau pagar pertahanan agar kebangkrutan itu tidak terulang lagi. Bagaimana kebangkrutan sebuah lembaga keuangan di Amerika menimbulkan efek domino kemana-mana.
Tetapi upaya “inward looking” itu bukannya berhasil, malah gagal total. Bukannya keamanan perekonomian yang berhasil ditingkatkan, tetapi malah perdagangan yang menurun dan melemah. Jadi tren kebijakan yang dilakukan oleh begitu banyak negara – bukan hanya Indonesia – dimana mereka “berbalik terhadap globalisasi” justru memperlemah perekonomian dunia.
Saya pribadi melihat dibanding banyak negara lain, Indonesia masih lebih baik. Tingkat pertumbuhan ekonomi kita masih positif, sementara banyak negara sudah mulai kontraksi menuju negatif. Kedua, dari sisi reformasi perekonomian, deregulasi.. ini semua jadi pekerjaan rumah kita.
Tetapi memang begini, mungkin kita dinilai begitu karena tidak banyak hadir di acara-acara dunia setahun terakhir ini. Saya segera mencoba memperbaiki hal ini dengan mulai menghadiri acara-acara menteri perdagangan di luar negeri, mengikuti KTT G20 di Istanbul, KTT ASEAN dll.
Singkatnya, kita sekarang akan lebih “outward looking”, bermitra dengan negara-negara tetangga dan wilayah kita sendiri dulu, kemudian dengan mitra dagang besar seperti Amerika, China, Eropa dll. Dunia sudah begitu terpadu soalnya.
Indonesia kini ibarat anak gadis yang banyak dilirik perjaka-perjaka. Ada Amerika, Jepang, Eropa dan China yang ingin bermitra lebih dekat dengan Indonesia. Tetapi melihat kedekatan Indonesia dengan China satu tahun terakhir ini, banyak pihak resah juga karena ini terkait erat dengan perebutan pengaruh dan kekuasaan atas sesuatu. Beberapa analis bahkan menilai Indonesia naif karena jika ingin meningkatkan kemakmuran, Indonesia mendekat ke China. Tetapi jika menginginkan rasa aman, Indonesia bersandar ke Amerika. Bagaimana menurut Bapak?
Kalau saya bilang tidak ada apa-apa. Mungkin karena memang banyak polemik di masyarakat terkait kemenangan China dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Hemat saya, merupakan fakta bahwa China adalah negara dengan tingkat perekonomian terbesar di dunia tetapi hanya menjadi investor ke-13 atau ke-14 terbesar di Indonesia. Kok rasanya tidak wajar atau tidak masuk akal jika pihak lain merasa khawatir dengan kemitraan Indonesia-China?
Kedua, defisit perdagangan Indonesia ke China setiap tahun US$14 milyar. Berarti setiap tahun ada $14 milyar devisa kita yang mengalir ke China. Lalu uang itu digunakan China untuk apa? Terus terang saja ya untuk investasi ke Amerika dan Eropa.
Harusnya sih China menggunakan uang itu untuk investasi kembali ke Indonesia, lebih sustainable. Dalam hubungan perdagangan ada dua cara membuat hubungan lebih bertahan lama yaitu, satu, jangan pincang atau imbalance, jika defisit atau surplus terlalu besar sehingga jadi timpang. Dua, jika terjadi defisit maka sedapat mungkin bisa kembali lagi. Harus ada upaya yang serius supaya defisit yang keluar ke China, bisa kembali lagi ke Indonesia dalam bentuk investasi.
Jadi tidak bisa dipungkiri jika isu-isu ekonomi ini sering diselimuti juga dengan isu politik ya Pak? Karena misalnya soal kereta api cepat Jakarta-Bandung yang tendernya dimenangkan China, sebenarnya mungkin kurang strategis dibanding kereta api cepat lintas Sumatera atau Kalimantan bukan?
Well, saya tidak mau mengomentari itu. Tapi begini… dari kemarin sebenarnya negara tujuan ekspor terbesar Indonesia adalah Amerika dan kita meraih surplus hingga $7-10 milyar setiap tahun. Jadi ini merupakan hubungan yang sangat penting. Jadi meskipun Pak Presiden sangat sungkan meninggalkan tanah air di saat terjadinya musibah karhutla dan kabut asap, tetapi gimana ya.. Beliau sudah ke China dua kali dalam setahun terakhir. Masa tidak sekali pun ke Amerika, padahal Amerika merupakan investor ketiga terbesar di Indonesia dan sekaligus negara tujuan ekspor terbesar Indonesia.
Masa tidak pernah kita datangi? Masa courtesy visit saja kita tidak bisa? Anggap saja misalnya ia (Amerika) adalah pelanggan kita, masa tidak kita datangi untuk menjalin kerjasama lebih erat dan sekaligus mengucapkan terima kasih? Siapa tahu lawatan kita ini jadi bisa menjalin kerjasama lebih baik lagi.
Jadi bagaimana Bapak melihat prospek perdagangan Indonesia ke depan?
Jadi saya melihat Indonesia perlu memiliki kemitraan dengan banyak negara dan harus menjalin kerjasama dengan semua – Eropa, China dan Amerika. Presiden minta saya untuk memberi lebih banyak perhatian pada pasar non-tradisional yang masih baru seperti Timur Tengah, Afrika, India – Pakistan dan Arab Saudi. Perdagangan kita dengan Arab Saudi itu mengalami pertumbuhan 20-25 persen per tahun. Ini peluang-peluang yang baik. Saya kira cukup imbang ya.
Tetapi tidak dengan TPP?
Aduuuh pertanyaannya… Kita tunggu keputusan Presiden.
Tapi Presiden sudah kasih target dua tahun untuk menyelesaikan perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa, selangkah lagi menuju TPP?
Jika kita sudah punya trading agreement dengan Eropa maka kita sudah memenuhi 60-80 persen untuk masuk TPP. Jadi satu per satu deh. Uni Eropa dulu. Ini juga tidak mudah tetapi kita tidak punya pilihan. Karena negara-negara tetangga kita, yang merupakan saingan langsung kita, sudah rampung.
Mereka punya akses yang bebas ke pasar dengan nol tarif pula. Ini bahaya sekali buat kita. Pabrik-pabrik kita bisa hengkang ke negara tetangga jika tidak memiliki nilai lebih, seperti Vietnam dan Malaysia. Jika tarif kita masih lebih tinggi dan tidak punya akses yang bebas pada pasar seperti Eropa yang pangsa pasarnya sangat besar, bahkan lebih besar dari Amerika. Uni Eropa itu memiliki total penduduk 400 juta dan ekonominya hampir $20 trilyun per tahun, sementara Amerika $17 trilyun per tahun. Jadi Eropa juga penting untuk kita.
Kembali ke TPP, jadi belum ada rincian yang bisa disampaikan ya Pak?
Kita tunggu keputusan Presiden ya.