Ketika bulan lalu seorang hakim distrik AS memutuskan larangan federal mengenai mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) tidak konstitusional, ia mengabaikan pemerintah federal dan membuat cemas aktivis anti-FGM, yang berharap bisa menghapuskan praktik tersebut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut FGM yang juga disebut sunat perempuan sebagai pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan dan anak perempuan, tanpa manfaat kesehatan.
WHO mengatakan sekitar 200 juta perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia, terutama di Afrika, mengalami FGM.
Dalam pandangannya, Hakim Bernard Friedman menyebut FGM "keji", namun juga "tindak kejahatan setempat" yang harus ditangani di tingkat negara bagian. Ia mengatakan Kongres bertindak melampau kewenangannya dalam memberlakukan hukum federal.
Kini anggota DPRD, pendukung dan surat kabar menyerukan larangan negara bagian yang setara atau melampaui undang-undang federal yang diabaikan itu.
Kasus yang diputuskan Friedman berpusat pada Dr. Jumana Nagarwala, seorang dokter ruang gawat darurat yang dituduh melakukan FGM pada setidaknya 100 anak perempuan di Michigan selama lebih dari satu dekade.
Jaksa memusatkan kasus mereka pada sembilan anak perempuan dari tiga negara bagian, usia 7 hingga 12 tahun, yang mengatakan Nargawa bersama tujuh orang lainnya termasuk ibu anak-anak perempuan itu telah melakukan FGM terhadap mereka.
Pengacara mengatakan prosedur tersebut hanya "sayatan kecil" terhadap anak-anak perempuan itu sebagai bagian dari ritual keagamaan - bukan FGM. Tetapi mereka bulan Juli juga berpendapat bahwa undang-undang federal yang melarang FGM tidak konstitusional. (my)