Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berharap provinsinya dapat segera mengalami perubahan status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dari level IV ke level yang yang lebih rendah.
Hingga Senin (6/9), semua daerah di DIY masih berstatus PPKM level IV. Kota Yogyakarta dan empat kabupaten di DIY, berstatus sama seperti Blitar dan Kediri di Jawa Timur, dan Denpasar di Bali, yang masih menyandang level tertinggi PPKM.
Salah satu konsekuensi dari penerapan level ini adalah semua pekerja sektor non-esensial bekerja dari rumah.
Harapan akan perubahan status tersebut ini dikemukakan oleh berbagai macam pihak, mulai dari pelaku di sektor ekonomi hingga pendidikan.
Pengusaha sekaligus mantan wali kota Yogyakarta Herry Zudianto mengungkapkan keresahannya atas pola pengumuman status PPKM yang dilakukan setiap pekan. Menurut Herry, pengoperasian usaha yang ia miliki, seperti pusat wisata, sekolah dan toko busana, tidak bisa dirancang dalam waktu jangka pendek mengikuti pola pengumuman status PPKM yang dilaksanakan setiap minggu.
“Jadi saya itu merasa, lha ini saya apa harus on-off, setiap minggu harus berpikir besok on atau off. Kan itu hubungannya dengan pegawai dan sebagainya. Seharusnya (pengumumannya) kemarin (untuk) 2 minggu sekalian atau 3 minggu sekalian. Artinya bagi dunia usaha itu yang penting adalah kepastian,” ujar Herry dalam diskusi yang digelar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) DIY, Minggu (5/9) malam.
Secara makro, lanjut Herry, ekonomi Yogyakarta bergantung pada dua sektor utama, yaitu pariwisata dan pendidikan. Dua sektor itu, disebut mantan wali kota Yogyakarta selama dua periode ini, sebagai ekonomi kerumunan.
“Yogya itu bisa bangkit ekonominya karena berkerumun. Berkerumunnya wisatawan, itu lokomotifnya, dan berkerumunnya mahasiswa, yang kembali sekolah,” tambahnya.
Karena itulah, sebagai pengusaha dia berharap status wilayah ini segera turun ke level di bawahnya.
Harapan serupa juga muncul di sektor pendidikan. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia, dr. Linda Rosita, M.Kes., Sp.PK (K) mengatakan bahwa pembelajaran tatap muka sangat penting bagi para mahasiswa dan dosen.
“Selama dua tahun mahasiswa dirumahkan, itu banyak kompetensi-kompetensi khususnya di fakultas kedokteran yang sulit untuk dicapai. Karena memang ada proses-proses pembelajaran yang harus dilakukan secara langsung,” ujarnya.
Agar bisa mengalami perubahan status, Yogyakarta perlu menekan jumlah kasus positif dan kematian harian. Menurut Linda, persentase kematian di Yogyakarta yang masih berkisar di angka 3,26 persen masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan angka nasional.
Daerah Berharap Ganti Level
Sekretaris Daerah (Sekda) DI Yogyakarta, Kadarmanta Baskara Aji juga mengemukakan harapan yang serupa. Ia menjelaskan bahwa penurunan level menjadi penting untuk bisa menggerakkan sektor pariwisata serta pendidikan yang menjadi dua sektor utama penopang ekonomi provinsi tersebut.
“Waktu pertama-tama dulu saya menyebutkan ada dua hal. Yang pertama, banyak masyarakat kita yang terpapar, yang kedua banyak masyarakat kita yang terkapar, karena ekonominya hancur,” ujar Baskara Aji.
Dia sepenuhnya berharap, Senin (6/9) menjadi hari terakhir DIY masuk Level IV, dan segera turun ke Level III atau II.
Penetapan status level IV PPKM pada seluruh wilayah Yogyakarta didasari oleh beberapa hal. Menurut Baskara Aji, tidak seluruh wilayah di Yogyakarta berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Namun, karena semuanya merupakan satu kesatuan wilayah aglomerasi, pemerintah pusat menetapkan lima wilayah di provinsi tersebut memiliki status yang sama.
Di samping itu, dua kabupaten di Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Yogyakarta, yaitu Purworejo dan Magelang, juga berstatus Level IV dikarenakan masyarakat di kedua kabupaten ini banyak beraktivitas di Yogyakarta juga.
Untuk keluar dari Level IV, salah satu upaya oleh pemerintah Yogyakarta adalah percepatan vaksinasi. Target yang dipasang adalah melakukan vaksinasi terhadap 55 ribu warga setiap harinya hingga pertengahan Oktober. Namun, hingga kini pencapaian jumlah vaksinasi baru mencapai sekitar 32 ribu warga per hari.
Baskara Aji mengingatkan bahwa capaian vaksinasi tidak bisa dijadikan pedoman pembukaan sektor pariwisata atau pendidikan.
“Karena orang yang sudah divaksin juga efikasi juga tidak bisa 100 persen, sehingga kita tetap harus hati-hati,” ujarnya.
Hati-Hati Turun Level
Di tengah harapan akan penurunan status PPKM Yogyakarta, Ketua Dewan Pakar ICMI DIY Prof. Edy Suandi Hamid, menyebutkan terdapat manfaat tersembunyi dari penetapan status PPKM level tertinggi ini.
“Secara formal barangkali juga strategis, kalau sekarang kita mengatakan (sebaiknya) tunda seminggu lagi Level IV ini. Supaya Yogya ini masih semi lockdown kira-kira untuk pendatang dari luar. Dan ini pasti berdampak pada ekonomi kita yang harus bergerak. Tetapi kita juga harus melihat sosial cost-nya,” kata Edy, yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Widya Mataram.
Ia melanjutkan bahwa euforia yang terjadi di masyarakat ketika level diturunkan sebagai ongkos sosial yang harus dipertimbangkan. Contoh kasus sudah terjadi di sejumlah negara yang menunjukkan kenaikan jumlah kasus ketika pengetatan dilonggarkan.
Jika memang kasus dan jumlah kematian masih di atas angka standar yang ditetapkan, Edy berpendapat bahwa masyarakat Yogyakarta harus menerima akan penetapan status level IV.
Di sisi lain, ia percaya situasi terbatas seperti saat ini akan melahirkan banyak inovasi, baik di sektor ekonomi maupun kehidupan sosial yang digerakkan masyarakat. Inovasi berdasarkan pemahaman bahwa adanya kemungkinan manusia akan hidup bersanding dengan virus ini lebih lama, sebagaimana virus lain.
“Asal kita tidak ingin pertumbuhan ekonomi cepat tinggi. (Jika kita terburu buru) bebaskan pendidikan dan pariwisata di Yogyakarta, itu sosial cost-nya akan cukup tinggi,” tambah Edy. [ns/rs]