Tenggelamnya perahu migran di Laut Aegea yang menewaskan empat orang menunjukkan kelemahan kesepakatan antara Uni Eropa dan Turki untuk membendung arus migrasi yang tidak terkendali ke negara-negara Barat, demikian disampaikan oleh Menteri Imigrasi Yunani, pada Rabu (27/10).
Menteri Notis Mitarachi mengatakan para korban dalam kecelakaan yang terjadi di lepas pantai timur pulau Yunani Chios, di mana dua anak dan dua orang dewasa dari Somalia tewas dalam tragedi tersebut, seharusnya tidak pernah diizinkan meninggalkan pantai Turki dalam sebuah sampan penyelundup yang penuh sesak.
Yunani adalah titik masuk utama ke wilayah Uni Eropa bagi orang Asia atau Afrika yang melarikan diri dari konflik atau kemiskinan yang terjadi di negaranya. Mereka sebagian besar meninggalkan Turki dengan perahu yang tidak layak untuk berlayar. Patroli yang lebih ketat yang diberlakukan oleh otoritas Yunani, dengan dibantu oleh badan perbatasan Uni Eropa, telah membatasi arus masuk migran dalam beberapa tahun terakhir setelah sekitar satu juta orang memasuki negara-negara Uni Eropa pada tahun 2015.
Mitarachi mengatakan pada konferensi pers bahwa empat orang dari perahu yang tenggelam pada Senin (25/10) masih dilaporkan hilang, sementara 22 warga Somalia, Eritrea dan Sudan berhasil diselamatkan. Tiga di antaranya kini menjalani perawatan di rumah sakit.
Dia mengatakan tenggelamnya perahu itu “menyoroti realitas kejam dari eksploitasi migran” oleh geng kriminal yang bebas bergerak di Turki.
Yunani telah menetapkan Turki sebagai negara yang aman bagi warga negara Somalia, Afghanistan, Suriah, Pakistan, dan Bangladesh. Para migran dari kelima negara tersebut dikenal akan kenekatannya untuk menyeberang secara ilegal dari Turki ke Yunani. [lt/jm]