Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru di seluruh Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Aturan itu terus berubah dari tahun ke tahun, dan menimbulkan gejolak di kalangan orang tua siswa. Namun tahun ini, aturan baru yang ditetapkan sebenarnya membawa dampak positif bagi kelompok siswa berkebutuhan khusus atau difabel. Dalam aturan yang ditetapkan Mendikbud Muhajir Efffendi, sekolah wajib menerima siswa difabel yang tinggal di dekat lokasinya secara otomatis.
Sambutan positif diberikan Muhammad Joni Yulianto, Direktur Eksekutif Sasana Inklusi dan Advokasi Gerakan Difabel (Sigab). Terlepas dari pro-kontranya, sistem zonasi kata Joni berpotensi mendorong pendidikan inklusi berjalan lebih baik. Selama ini, pemerintah memang telah mengampanyekan sekolah inklusi, tetapi dalam pelaksanaannya, hanya ada sedikit sekolah semacam itu di setiap kabupaten. Anak-anak difabel akhirnya tetap harus menempuh jarak yang jauh untuk bersekolah.
“Sistem zonasi ini sebenarnya momentum untuk lebih menegaskan bahwa difabel bisa sekolah di manapun, dan memang harus yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Kalau kita lihat dari sisi mobilitas, ini menjadi relatif terjangkau. Dari aspek lain, mereka bisa tetap berada di lingkungan tempat tinggalnya, terjangkau dalam pengawasan orang tuanya, dan bisa memperoleh dukungan dari keluarganya ketika membutuhkan,” kata Joni.
Sebelum ini, pemerintah sebenarnya telah menetapkan program sekolah inklusi. Dalam program ini, ada sejumlah sekolah reguler yang diminta untuk menerima siswa berkebutuhan khusus. Namun menurut Joni, perkembangan program ini tidak menggembirakan. Sekolah-sekolah hanya menyambut positif ketika ada program khusus yang ditetapkan kementerian. Akhirnya, sekolah tidak pernah benar-benar siap untuk menjadi sekolah inklusif.
Melalui skema zonasi yang tahun ini ditetapkan kementerian, Joni yakin akan membuat sekolah mau tidak mau melakukan perbaikan terkait layanan bagi difabel. “Kalau mau menerapkan, jangan tunggu siap dulu. Justru kebutuhan difabel untuk belajar di sekolah terdekat ini bisa dijadikan momentum untuk mempercepat kesiapan itu. Kalau ditunggu siap, kapan siapnya? Karena selama ini memang tidak ada roadmap-nya,” tambah Joni.
Sekolah Wajib Terima Siswa Difabel
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta, Kadarmanta Baskara Aji memberikan keterangan rinci terkait proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ada tiga jalur yang bisa dilalui siswa untuk masuk ke sebuah sekolah.
Jalur pertama adalah jalur prestasi, di mana 5 persen dari daya tampung sekolah bisa diberikan kepada siswa dari luar zonasi. Jalur kedua adalah skema perpindahan orang tua karena pekerjaan, yang juga ditetapkan kuotanya sebayak 5 persen dari total daya tampung sekolah. Sisanya, yaitu 90 persen dari daya tampung sekolah harus diprioritaskan kepada siswa dari wilayah terdekat sekitar sekolah yang ditetapkan.
Di dalam 90 persen kuota itu, kata Baskara Aji, termasuk di dalamnya adalah 20 persen siswa dari keluarga tidak mampu. Dari kuota ini, sekolah juga wajib menerima 2 siswa berkebutuhan khusus untuk setiap rombongan belajar. Rombongan belajar adalah satuan jumlah siswa, untuk SD maksimal 28 siswa, SMP 32 siswa dan SMA 36 siswa. Karena itu, jika ada sekolah yang menerima 10 rombongan belajar, maka sekolah itu wajib menerima hingga maksimal 20 siswa difabel. Hanya saja, menurut Baskara Aji, ada syarat yang harus dipenuhi kepada siswa difabel untuk bisa masuk sekolah reguler.
“Syarat untuk siswa berkebutuhan khusus adalah ada rekomendasi dari psikolog resmi, yang mengeluarkan surat keterangan, bahwa anak itu berkebutuhan khusus dan sanggup atau siap untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah reguler,” kata Baskara Aji.
Penerapan syarat itu, tambah Baskara Aji, untuk kepentingan siswa difabel sendiri. Pengalaman sebelumnya, banyak orang tua siswa difabel memaksakan anaknya masuk sekolah reguler padahal tidak siap mengikuti pembelajaran di sana. “Ini justru akan merugikan anak bersangkutan, karena anak itu sebaiknya direkomendasikan masuk ke SLB (Sekolah Luar Biasa),” tambah Baskara Aji.
Namun, syarat surat keterangan itu dipertanyakan oleh Joni Yulianto. Kepada VOA, Joni mengatakan justru sebaiknya seluruh siswa difabel diterima dulu di sekolah reguler. Setelah itu dapat dipetakan persoalan yang dihadapi dan jalan keluar yang dibutuhkan. Komunitas dan organisasi difabel di seluruh Indonesia dengan senang hati akan membantu setiap sekolah mencari jalan keluar yang dihadapi karena kehadiran siswa difabel di tengah mereka.
“Tantangan sekolah akan sangat spesifik. Sebab bisa saja, sekolah A menghadapi kawan yang down syndrome, sekolah B diisi teman-teman tuli, sekolah C diisi teman tunanetra. Jadi akan sangat spesifik model penyelesaiannya. Yang diperlukan adalah asesmen untuk menentukan proses pembelajaran yang cepat, modifikasi kurikulum, media pembelajaran, metode penyampaiannya harus bagaimana, pengelolaan kelasnya bagaimana,” kata Joni.
Zonasi yang Dipersoalkan
Sistem zonasi sendiri setidaknya dalam dua tahun terakhir telah menuai kritik kalangan orang tua. Biasanya, kritik muncul karena anggapan adanya sekolah favorit dan tidak.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir Effendi dalam sebuah kesempatan di Yogyakarta beberapa waktu lalu menjelaskan, sistem zonasi diterapkan untuk menyelesaikan sejumlah persoalan mendasar di sektor pendidikan. Selama ini, kata Muhajir, muncul kastanisasi sekolah dimana ada sekolah favorit dan sekolah buangan. Keinginan untuk masuk ke sekolah favorit itu memunculkan praktik jual beli kursi, penggunaan pengaruh politik misalnya dari anggota parlemen di daerah, kecurangan dalam ujian nasional dan nilai rapor siswa yang dibuat baik tidak sesuai kemampuan aslinya.
Praktik semacam itulah, kata Muhajir yang akan diberantas melalui skema zonasi. Sistem ini juga akan membuat sekolah tidak perlu berkompetisi sebagai lembaga, tetapi justru mendorong anak sebagai individu yang kompetitif. Negara menjalankan tugasnya untuk menciptakan rasa keadilan, tambah Mendikbud.
“Tidak boleh ada sekolah favorit, yang favorit itu anak. Setiap sekolah harus bagus, standar pelayanan minimumnya harus terpenuhi, dan anak tetap diberi hak untuk berkompetisi tetapi sebagai individu, bukan lembaga sekolahnya. Anak-anak pintar ini biar menyebar di semua sekolah, jangan sampai ada sekolah kumpulan anak pintar dan sekolah kumpulan anak bodoh, ini sangat tidak adil,” kata Muhajir Effendi. [ns/uh]