Kementerian Luar Negeri Indonesia akan memanggil Duta Besar China Untuk Indonesia Xiao Qian guna meminta penjelasan terkait perlakuan tidak manusiawi terhadap anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di tiga kapal ikan China.
"Guna meminta penjelasan tambahan mengenai alasan pelarungan jenazah (apakah sudah sesuai dengan Ketentuan ILO) dan perlakuan yang diterima ABK WNI lainnya, Kementerian Luar negeri akan memanggil Duta Besar China," kata Kementerian Luar Negeri dalam siaran persnya diterima VOA, Kamis (7/5).
Kementerian Luar Negeri menyatakan pemerintah Indonesia melalui perwakilan Indonesia di Selandia Baru, China, dan Korea Selatan, memberi perhatian serius atas permasalahan yang dihadapi anak buah kapal asal Indonesia bekerja di kapal ikan berbendera China, Long Xin 605 dan Tian Yu 8.
Kedua kapal, yang beberapa hari lalu berlabuh di Busan, Korea Selatan, membawa 46 awak kapal WNI. Lima belas di antaranya berasal dari kapal Long Xin 629.
"KBRI Seoul berkoordinasi dengan otoritas setempat telah memulangkan 11 awak kapal pada 24 April 2020," kata Kementerian Luar Negeri. "Sebanyak 14 awak kapal lainnya akan dipulangkan pada 8 Mei 2020."
KBRI Seoul juga sedang mengupayakan pemulangan jenazah awak kapal atas nama inisial E yang meninggal di rumah sakit Busan karena pneumonia. Sebanyak 20 awak kapal lainnya melanjutkan bekerja di kapal Long Xin 605 dan Tian Yu 8.
BACA JUGA: Migrant Care Desak Pemerintah Beri Perhatian Serius pada Buruh MigranJenazah ABK Indonesia Dilarung?
Pada Desember 2019 dan Maret 2020, di kapal Long Xin 629 dan Long Xin 604 terjadi kematian tiga awak kapal dari Indonesia ketika sedang berlayar di Samudera Pasifik. Kapten kapal menjelaskan keputusan melarung jenazah karena kematian disebabkan penyakit menular dan hal ini berdasarkan persetujuan awak kapal lainnya.
Menurut ketentuan Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO), kapten kapal dapat memutuskan melarung jenazah dalam beberapa situasi. Antara lain jenazah meninggal karena penyakit menular atau kapal tidak memiliki fasilitas menyimpan mayat sehingga dapat berdampak pada kesehatan awak kapal lainnya di atas kapal.
KBRI Beijing telah menyampaikan nota diplomatik untuk meminta klarifikasi mengenai kasus ini. Dalam penjelasannya, Kementerian Luar Negeri China menerangkan pelarungan telah dilakukan sesuai praktik kelautan internasional untuk menjaga kesehatan para awak kapal lainnya.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri bersama kementerian/lembaga terkait juga telah memanggil Manning Agency untuk memastikan pemenuhan hak-hak awak kapal WNI. Kementerian Luar Negeri juga telah menginformasikan perkembangan kasus dengan pihak keluarga.
Hak-Hak ABK
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai apa yang dialami ABK Indonesia tersebut adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Karena mereka terenggut kebebasannya, bekerja dalam kondisi tidak layak, tidak mendapat hak atas informasi. Hak yang paling dasar pun, yaitu hak atas hidup, terenggut.
BACA JUGA: Migrant Care Minta Pemerintah Tak Pakai Pendekatan Keamanan Pada Pekerja MigranMigrant Care menilai respon Kementerian Luar Negeri bersifat normatif, tetapi belum menukik pada pokok persoalan apakah sudah ada desakan bagi investigasi pelanggaran hak asasi manusia, juga belum ada pernyataan tegas untuk memastikan pemenuhan hak-hak ABK tersebut.
Badan tersebut juga mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia untuk bersikap pro aktif memanggil para agen pengerah ABK tersebut untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dan apalagi ditemukan pelanggaran hukum harus diteruskan melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Kondisi terhadap pekerja migran ini menurut Migrant Care makin memperlihatkan kondisi pekerja migran Indonesia terutama yang bekerja di sektor kelautan. Kerentanan pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan tambah Wahyu memang bukan hal yang baru.
Praktik Perbudakan Modern Terburuk
Dalam Indeks Perbudakan Globalyang dikeluarkan Walk Free pada 2014-2016, di mana Migrant Care menjadi bagian inisiatif ini, juga menempatkan pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan, terutama sebagai ABK di kapal pencari ikan, sebagai praktik perbudakan modern yang terburuk.
Dalam pemeringkatan ini, terhitung ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berada dalam perangkap perbudakan modern.
Menurutnya kerentanan para pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan juga dipicu oleh ketiadaan instrument perlindungan yang memadai sebagai payung perlindungan bagi mereka.
BACA JUGA: Jokowi: Puluhan Ribu TKI Pulang, Klaster Baru Wabah Mungkin MunculMeski UU No.18/2017 tentang perlindungan pekerja migran Indonesia mengamanatkan adanya aturan khusus mengenai perlindungan pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan, namun hingga saat ini aturan turunan tersebut belum diterbitkan. Bahkan terlihat ada kecendrungan berebut kewenangan antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Politik luar negeri dan diplomasi, lanjutnya, juga belum maksimal dalam memperjuangkan penegakan hak asasi pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan, terkait dengan implementasi dan komitmen antar negara dalam perlindungan pekerja di sektor kelautan. [fw/em]