Afrika Selatan memiliki reputasi yang sangat buruk dengan tingkat kekerasan tertinggi di dunia terhadap perempuan. Lebih dari 100 kasus pemerkosaan setiap hari dilaporkan, sementara menurut data resmi rata-rata seorang perempuan terbunuh setiap tiga jam. Presiden Cyril Ramaphosa secara teratur menjuluki target kekerasan pada kaum perempuan itu sebagai "pandemi kedua" setelah COVID-19.
“Nathalie", penghuni Nisaa center adalah penyintas kekerasan berbasis gender
“Nathalie” butuh waktu sepuluh tahun untuk melarikan diri dari suaminya yang kejam. Tetapi tidak sebelum suaminya mematahkan tulang rusuk penghuni Nisaa center itu dengan sebatang besi.
Kini, penyintas kekerasan berbasis gender itu tinggal di sebuah penampungan bagi perempuan korban pelecehan di Johannesburg. Nathalie, berusia 48 tahun, mendesak para korban kekerasan dalam rumah tangga lainnya untuk angkat bicara, lebih cepat dari yang ia lakukan.
“Setiap perempuan mempunyai batas kesabaran, harus berani untuk mengatakan tidak. Cari bantuan sebanyak mungkin, sedari awal juga ketika masih hidup dan masih bernafas," katanya.
Afrika Selatan termasuk negara dengan tingkat kekerasan tertinggi di dunia terhadap perempuan. Lebih dari 100 kasus pemerkosaan setiap hari dilaporkan. Setiap jam rata-rata seorang perempuan dibunuh, menurut angka resmi. Angka tersebut mengalami peningkatan selama lockdown terkait COVID-19. Banyak perempuan kemudian terjebak di dalam rumah bersama pelaku kekerasan.
Presiden Cyril Ramaphosa membandingkan kekerasan itu dengan 'pandemi kedua' dalam pidato yang disiarkan secara nasional pada Januari 2022.
BACA JUGA: Gereja di Afrika Ikatkan Pita untuk Kenang Korban Meninggal akibat COVID-19“Sebagai seorang laki-laki, suami dan seorang ayah dari anak perempuan, saya terkejut dengan kasus yang serupa dengan perang yang dilancarkan terhadap kaum perempuan dan anak-anak di negara kita.”
Afrika Selatan hanya memiliki 100 tempat penampungan untuk melindungi kaum perempuan. Beberapa di antaranya menerima dana pemerintah yang sangat kecil jumlahnya.
Seringkali, korban disalahkan ketika berbicara, kata Sima Diai, program manajer tempat penampungan Nisaa center untuk perempuan di Johannesburg.
“Mereka sering mengatakan, “Kamu dalam 20 tahun tinggal bersama dan tidak mengatakan atau melakukan apa pun. Mengapa mengubahnya sekarang?” Akan tetapi orang-orang tidak mengerti apa yang terjadi di balik pintu tertutup tersebut," ujar Sima.
Di bagian lain negara Afrika itu dalam dua tahun terakhir semakin banyak perempuan datang mengetuk pintu perlindungan di Cape Town tersebut. “Jacqueline" penghuni rumah penampungan St. Anne berusia 29 tahun yang selamat dari kekerasan menguraikan.
“Sebelum saya keluar dari rumah, laki-laki membawa saya pergi ke pantai dengan mengendarai mobil dan mengatakan: 'Lihat, di sinilah saya akan menghabisi hidupmu, di sini tempatnya. Tidak ada yang akan meninggalkan saya, dan tak seorang pun akan menemukanmu di sini. Itu sebabnya saya pilih tempat ini'. Bagi saya, menuntut dia ke pengadilan, tidak ada gunanya karena dalam waktu dua minggu atau beberapa bulan, dia dapat bebas," papar Jacqueline.
Joy Lange, manajer rumah penampungan St. Anne di Cape Town, mengatakan polisi seringkali tidak dapat membantu.
“Banyak perempuan masih mengeluh tentang perlakuan terhadap mereka dan polisi Afrika Selatan yang tidak tanggap. Menurut saya, itu juga terkait dengan budaya patriarki yang masih mengakar kuat di negara kita. Itu perlu diperhatikan secara serius," katanya.
Pada September lalu parlemen meloloskan tiga RUU untuk memperketat undang-undang tentang kekerasan berbasis gender. Sejumlah aktivis mengatakan itu tidak mengatasi akar penyebab kekerasan terhadap perempuan.
Sejumlah laki-laki Afrika Selatan sering dibesarkan tanpa ayah mereka. Pelaku kekerasan itu seringkali adalah penyintas kekerasan pada masa kanak-kanak mereka sendiri. [mg/lt]