“Selamat di tangan Yesus, aman pelukanNya, dalam teduh kasihNya aku bahagia."
Penggalan bait lagu dengan irinan gitar yang dibawakan Pendeta Uri Christian Sakti Labeti itu, menjadi salah satu rangkaian acara refleksi dan doa bersama yang digagas Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD), dengan tema “Salibmu adalah Salibku, Penderitaanmu juga Penderitaanku”. Doa ini khusus ditujukan bagi arwah korban pembunuhan di Kabupaten Sigi pada 27 November lalu, yang diduga dilakukan oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
Sejumlah peserta refleksi dan doa bersama secara daring ini mengungkapkan kesedihan dan keprihatinannya, atas pembunuhan dan penghancuran rumah doa. Wahib Rahman, dari Jamaah Ahmadiyah Indonesia, di Magetan, Jawa Timur, menilai tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama atau apa pun tidak dapat dibenarkan.
“Orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan, tindakan kekejian atas nama apa pun, pada akhirnya sejarah akan mencatat, bahwasanya mereka itu orang-orang yang kalah. Karena mereka orang-orang yang lemah, karena mereka mengalahkan hawa nafsunya sendiri pun tidak bisa," kata Wahib Rahman.
BACA JUGA: Pembunuhan di Sigi, Mahfud Berharap Umat Beragama Tidak Terprovokasi Isu SARAAfi Nihaya Faradisa, seorang peserta Muslim, menyatakan duka cita serta menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban.
“Saya merasakan keprihatinan yang luar biasa karena peristiwa ini di luar akal sehat saya, dan pasti sangat sulit diterima oleh orang yang menanggungnya," ujar Afi.
Afi berharap kejadian seperti ini tidak terulang. Dia juga berharap dialog antar umat beragama makin ditingkatkan untuk menguatkan persatuan dan kesatuan.
"Nah, saya hanya berharap bahwa entah dengan cara yang seperti apa, cara edukasi, entah dengan cara kita melakukan dialog antar agama, entah dengan cara mengunggah postingan atau apa pun, keadaan ini bisa diubah,” imbuhnya.
BACA JUGA: Serangan MIT: Operasi Keamanan di Sulteng Belum Beri Rasa AmanKoordinator JIAD, Aan Anshori, menilai sikap dan tindakan pemerintah dalam mengatasi masalah intoleransi, kekerasan berlatar belakang agama, serta aksi kekerasan lainnya yang menimpa warga bangsa, sangat lambat.
“Publik semakin geregetan karena presiden kita, yang kita elu-elukan, yang kita pilih dengan darah dan air mata, rasanya juga telat untuk menyampaikan," kata Aan
Your browser doesn’t support HTML5
Dia membandingkan dengan respons Presiden Joko Widodo terhadap komentar Presiden Perancis Emmanuel Macron pasca sejumlah kekerasan intoleransi di Perancis beberapa pekan lalu.
"Kalau merespons Perancis itu kan, Pak Jokowi itu kan sat-set, sat-set (cepat.red), tetapi kalau pada saat urusan Pendeta Yeremia almarhum, yang di Papua, tidak ber-statement, dan di Sigi ini juga telat," ujarnya.
Pendeta Maria Puspitasari mengatakan, perlu kebersamaan antar umat beragama dan warga bangsa, untuk bersama-sama mengatasi masalah kekerasan yang menciderai rasa kemanusiaan.
Warga bangsa, kata Maria, tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi perlu mengedepankan semangat persaudaraan dengan saling menghargai perbedaan yang ada.
“Kita percaya bahwa kita membutuhkan kebersamaan untuk mengatasi semua (masalah). Rasanya kalau bergantung pada pemerintah akan sakit hati, apalagi bermimpi bahwa Jokowi bisa menyelesaikan persoalan ini, rasanya jauh dari harapan," ujar Maria.
Arum Agung Gumilar, mengajak umat Kristen tidak terpengaruh dengan peristiwa yang terjadi mendekati Hari Raya Natal. Justru umat diajak untuk saling menguatkan, dan tetap mendoakan pelaku kejahatan.
“Kasus Sigi ini sebetulnya mengingatkan kita untuk tetap punya hati yang tabah, di tengah penantian akan Kristus. Kasus Sigi ini juga mengingatkan kita untuk tidak membalas mereka yang berbuat jahat, tapi berdoa supaya kasih ini memenuhi hati dan pikiran kita.” [pr/em/ft]