Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menetapkan Kepolisian Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai musuh kebebasan pers 2012.
Pada perayaan hari ulang tahun yang ke-18 pada Selasa (7/8), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menetapkan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai musuh kebebasan pers 2012, karena dinilai menghambat kemerdekaan pers di Indonesia.
Koordinator divisi advokasi AJI, Aryo Wisanggeni, mengatakan bahwa catatan AJI menunjukkan sejak Agustus 2011 hingga Juli 2012, telah terjadi 45 kasus kekerasan terhadap jurnalis, 10 kasus diantaranya diduga dilakukan oleh Polisi dan TNI.
“Dari kasus-kasus itu 10 diantaranya dilakukan oleh aparat penegak hukum dan militer. Enam kasus dilakukan oleh oknum polri, dan empat kasus dilakukan oleh oknum TNI,” ujarnya.
Untuk 35 kasus kekerasan lainnya, antara lain melibatkan oknum pegawai negeri sipil, kader partai politik, anggota DPRD, mahasiswa dan warga. Terkait kasus-kasus tersebut, AJI menyatakan bahwa polisi telah melakukan pembiaran saat jurnalis mendapat kekerasan.
Sementara itu, AJI juga mencatat pada akhir 2011 lalu DPR telah mengesahkan lahirnya undang-undang yang memperbesar risiko pemidanaan terhadap jurnalis, diantaranya Undang-Undang Intelijen Negara.
“Lahirnya undang-undang tersebut semakin memperbesar risiko pemidanaan terhadap jurnalis. Undang-Undang Intelijen Negara secara serampangan memperluas definisi informasi rahasia. Itu berbahaya. Karena itu kami menetapkan, Polri bersama dengan DPR RI menjadi musuh kekebasan pers tahun 2012,” kata Aryo.
AJI Indonesia juga menyoroti tidak tuntasnya kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifudin, atau Udin, wartawan Bernas di Bantul, Yogyakarta, 1996 silam. Udin terkenal dengan karya jurnalistiknya yang berani.
Ketua AJI Eko Maryadi mengingatkan bahwa kasus Udin akan kadaluarsa pada 16 Agustus 2014 dan sampai sekarang polisi belum pernah menangkap tersangka atau membuka kasus itu di pengadilan atas perkara pidana. Eko mendesak polisi untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Terkait pernyataan AJI, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Kombes Polisi Boy Rafli Amar kepada VoA mengatakan bahwa Polri sangat menghormati kebebasan pers, namun Polri juga berharap agar jurnalis menjalankan kode etik jurnalistik.
“Semuanya yang terkait dengan jurnalis, jika sebagai korban kekerasan akan diproses secara tuntas oleh kepolisian. Oleh karena itu untuk mencegah kekerasan terhadap jurnalis, kita perlu kerjasama semua pihak. Pada prinsipnya kita menghormati kebebasan pers. Namun demikian kita juga berharap, jurnalis mengedepankan kode etik jurnalistik,” ujar Boy.
Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddik kepada VoA menyatakan bahwa pernyataan AJI adalah hasil penilaian subyektif. Mahfudz memastikan, Undang-Undang Pers sangat mengakomodir kebebasan pers.
“Kalau yang dirujuk sejumlah perangkat perundang-undangan sesungguhnya dalam konteks kebebasan pers selama ini sudah diatur dalam Undang-Undang Pers. Undang-Undang Intelijen memang mengatur tentang batasan waktu satu informasi intelijen bisa dibuka ke publik. Bahwa ada kekhawatiran insan jurnalis ini bisa dipidanakan, sepanjang mereka tidak membocorkan rahasia intelijen kan tidak perlu dikhawatirkan,” ujar Mahfudz.
Pada perayaan hari ulang tahun ke-18 tersebut, AJI Indonesia memberikan penghargaan Tasrif Award kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan SK Trimurti Award 2012 untuk aktivis AIDS dan hak reproduksi perempuan Esti Susanti Budiono.
Koordinator divisi advokasi AJI, Aryo Wisanggeni, mengatakan bahwa catatan AJI menunjukkan sejak Agustus 2011 hingga Juli 2012, telah terjadi 45 kasus kekerasan terhadap jurnalis, 10 kasus diantaranya diduga dilakukan oleh Polisi dan TNI.
“Dari kasus-kasus itu 10 diantaranya dilakukan oleh aparat penegak hukum dan militer. Enam kasus dilakukan oleh oknum polri, dan empat kasus dilakukan oleh oknum TNI,” ujarnya.
Untuk 35 kasus kekerasan lainnya, antara lain melibatkan oknum pegawai negeri sipil, kader partai politik, anggota DPRD, mahasiswa dan warga. Terkait kasus-kasus tersebut, AJI menyatakan bahwa polisi telah melakukan pembiaran saat jurnalis mendapat kekerasan.
Sementara itu, AJI juga mencatat pada akhir 2011 lalu DPR telah mengesahkan lahirnya undang-undang yang memperbesar risiko pemidanaan terhadap jurnalis, diantaranya Undang-Undang Intelijen Negara.
“Lahirnya undang-undang tersebut semakin memperbesar risiko pemidanaan terhadap jurnalis. Undang-Undang Intelijen Negara secara serampangan memperluas definisi informasi rahasia. Itu berbahaya. Karena itu kami menetapkan, Polri bersama dengan DPR RI menjadi musuh kekebasan pers tahun 2012,” kata Aryo.
AJI Indonesia juga menyoroti tidak tuntasnya kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifudin, atau Udin, wartawan Bernas di Bantul, Yogyakarta, 1996 silam. Udin terkenal dengan karya jurnalistiknya yang berani.
Ketua AJI Eko Maryadi mengingatkan bahwa kasus Udin akan kadaluarsa pada 16 Agustus 2014 dan sampai sekarang polisi belum pernah menangkap tersangka atau membuka kasus itu di pengadilan atas perkara pidana. Eko mendesak polisi untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Terkait pernyataan AJI, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Kombes Polisi Boy Rafli Amar kepada VoA mengatakan bahwa Polri sangat menghormati kebebasan pers, namun Polri juga berharap agar jurnalis menjalankan kode etik jurnalistik.
“Semuanya yang terkait dengan jurnalis, jika sebagai korban kekerasan akan diproses secara tuntas oleh kepolisian. Oleh karena itu untuk mencegah kekerasan terhadap jurnalis, kita perlu kerjasama semua pihak. Pada prinsipnya kita menghormati kebebasan pers. Namun demikian kita juga berharap, jurnalis mengedepankan kode etik jurnalistik,” ujar Boy.
Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddik kepada VoA menyatakan bahwa pernyataan AJI adalah hasil penilaian subyektif. Mahfudz memastikan, Undang-Undang Pers sangat mengakomodir kebebasan pers.
“Kalau yang dirujuk sejumlah perangkat perundang-undangan sesungguhnya dalam konteks kebebasan pers selama ini sudah diatur dalam Undang-Undang Pers. Undang-Undang Intelijen memang mengatur tentang batasan waktu satu informasi intelijen bisa dibuka ke publik. Bahwa ada kekhawatiran insan jurnalis ini bisa dipidanakan, sepanjang mereka tidak membocorkan rahasia intelijen kan tidak perlu dikhawatirkan,” ujar Mahfudz.
Pada perayaan hari ulang tahun ke-18 tersebut, AJI Indonesia memberikan penghargaan Tasrif Award kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan SK Trimurti Award 2012 untuk aktivis AIDS dan hak reproduksi perempuan Esti Susanti Budiono.