Akan Boikot KTT Iklim PBB, Papua Nugini: ‘Buang-buang Waktu’

FILE - Menteri Luar Negeri Papua Nugini Justin Tkatchenko dalam konferensi pers dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi di Port Moresby, 20 April 2024. (Andrew KUTAN / AFP)

Papua Nugini, Kamis (31/10) menyatakan akan memboikot konferensi tingkat tinggi iklim PBB, COP29, yang akan diselenggarakan bulan depan, dengan menyebut negosiasi isu pemanasan global itu sebuah pertemuan yang “membuang-buang waktu” dan penuh dengan janji-janji kosong para pelaku utama pencemaran.

Meski sebelumnya banyak yang mengkritik pertemuan iklim tahunan itu, jarang ada negara yang sepenuhnya memboikot penyelenggaraannya. “Tidak ada gunanya kalau kita tertidur gara-gara penat terbang (jet lag), karena kita tidak akan menyelesaikan masalah apa pun,” kata Menteri Luar Negeri Papua Nugini Justin Tkatchenko kepada AFP sebelum COP29 di Azerbaijan pada November.

“Semua pelaku utama pencemaran di dunia berjanji dan berkomitmen untuk memberikan jutaan (dolar) untuk membantu upaya pemulihan dan bantuan iklim. Dan saya bisa beri tahu Anda sekarang bahwa itu semua akan diberikan kepada konsultan.”

Pulau Nugini adalah rumah bagi hamparan hutan hujan terbesar ketiga di dunia, menurut Dana Dunia untuk Alam (World Wildlife Fund/WWF), dan telah lama dikenal sebagai salah satu “paru-paru dunia.”

Papua Nugini, yang miskin, diapit lautan, dan rentan bencana alam, juga dinilai sangat rentan terkena dampak perubahan iklim. “COP benar-benar membuang-buang waktu,” kata Tkatchenko.

“Kami muak pada retorika dan pertemuan yang tidak ada habisnya yang pada akhirnya tidak menyelesaikan masalah apa pun selama tiga tahun terakhir ini.”

“Kami adalah negara dengan hutan hujan terbesar ketiga di dunia. Kami menyerap polutan dari negara-negara besar ini. Dan mereka dapat bebas begitu saja tanpa konsekuensi apapun.”

‘Festival Membual’

KTT Iklim PBB tahun 2015 menyepakati Perjanjian Paris yang bersejarah, di mana hampir semua negara di seluruh dunia sepakat untuk memangkas emisi mereka untuk membatasi kenaikan suhu global.

Akan tetapi, pertemuan-pertemuan berikutnya semakin dikecam luas, terutama dipicu oleh persepsi bahwa para pelaku utama pencemaran menggunakan pengaruh mereka untuk membatasi aksi iklim lebih lanjut.

Sementara itu, dana adaptasi yang dibentuk melalui COP untuk membantu negara-negara berkembang dituduh memiliki birokrasi yang lamban, yang gagal memahami urgensi krisis yang sedang terjadi.

Pada tahun lalu, kelompok-kelompok masyarakat sipil bersatu untuk mendesak pemboikotan KTT iklim yang diselenggarakan oleh Uni Emirat Arab, dengan mengklaim bahwa pertemuan tersebut akan “membersihkan” reputasi buruk negara minyak itu dalam isu iklim.

Sementara pada tahun 2009, karena tidak puas dengan usulan pemangkasan emisi, puluhan negara Afrika memimpin aksi walk-out saat penyelenggaraan COP tahun itu di Kopenhagen.

Untuk tahun ini, Ukraina menekan para sekutunya untuk tidak menghadiri KTT tahun ini jika Presiden Rusia Vladimir Putin hadir.

Akan tetapi, Papua Nugini menjadi salah satu negara pertama di dunia yang menyuarakan pemboikotan COP29 sepenuhnya secara lantang.

“Mengapa kami menghabiskan semua uang ini untuk pergi ke belahan dunia yang lain hanya untuk menghadiri festival membual ini,” kata Tkatchenko.

‘Tidak Menarik Perhatian’

Papua Nugini adalah satu dari lima negara Pasifik yang terlibat dalam kasus yang sangat penting di Mahkamah Internasional, yang akan segera menguji apakah pelaku pencemaran dapat dituntut karena mengabaikan kewajiban iklim mereka.

Negara-negara Pasifik yang berada di dataran rendah seperti Tuvalu dapat tenggelam hampir seluruhnya akibat naiknya permukaan laut dalam 30 tahun ke depan.

Tkatchenko mengatakan, keputusan untuk menarik diri dari KTT Iklim PBB mendapatkan pujian dari blok Pasifik. “Saya berbicara atas nama negara-negara pulau kecil yang keadaannya lebih buruk dari Papua Nugini. Mereka tidak mendapat perhatian dan pengakuan sama sekali.”

Tkatchenko melanjutkan, Papua Nugini justru akan mencoba mencapai kesepakatan iklimnya sendiri melalui kanal bilateral, salah satunya dengan Singapura, di mana negosiasi sedang berlangsung. “Bersama negara-negara yang sepaham, seperti Singapura, kami bisa berbuat 100 kali lipat daripada COP. Mereka memiliki jejak karbon yang besar, dan kami ingin memikirkan cara agar mereka dapat bekerja sama dengan Papua Nugini untuk memperbaikinya,” tandasnya.

Awal Oktober lalu, salah satu pertemuan penting menjelang COP29 berakhir dengan kekecewaan, di mana negara-negara membuat kemajuan kecil untuk membahas cara mendanai kesepakatan finansial baru bagi negara-negara yang lebih miskin.

COP, singkatan dari conference of parties (konferensi pihak-pihak), merupakan konferensi perubahan iklim utama PBB yang digelar setiap tahun, di mana negara-negara pihak berusaha menentukan komitmen iklim yang mengikat secara hukum. [rd/em]