Akhir 2019, Serangan Harimau ke Manusia di Sumsel Meningkat

Seekor harimau Sumatera (foto: ilustrasi).

Serangan harimau Sumatera terhadap manusia marak terjadi di Sumatera Selatan, pada akhir 2019. Sedikitnya, lima orang tewas dalam kurun waktu dua bulan. Semakin berkurangnya habitat harimau diduga menjadi salah satu faktor terjadinya serangan harimau terhadap manusia.

Sedikitnya ada tujuh kasus serangan harimau Sumatera di Sumatera Selatan terjadi dalam kurun waktu dua bulan sejak November hingga Desember 2019. Dalam tujuh kasus tersebut, lima orang tewas, dua lainnya luka-luka.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumsel, Genman Suhefti Hasibuan mengatakan rentetan serangan harimau Sumatera terhadap manusia meningkat drastis di akhir 2019. Padahal di beberapa bulan dan tahun sebelumnya tidak ada laporan kasus serangan harimau yang menyebabkan jatuhnya korban luka atau jiwa.

Menurutnya, faktor kuat yang membuat meningkatnya serangan satwa buas dilindungi itu lantaran habitat harimau Sumatera di kawasan hutan lindung sudah banyak yang rusak, bahkan terdegradasi menjadi perkebunan.

"Terdegradasi karena banyaknya kegiatan-kegiatan di dalam kawasan hutan lindung yang merupakan habitat harimau. Di sana banyak pembukaan hutan untuk kegiatan perkebunan dan ada illegal logging, serta permukiman kecil (talang)," ujar Genman kepada VOA, Senin (30/12).

Selain mulai berkurangnya habitat harimau. Genman menilai ketersediaan pakan satwa yang dilindungi itu juga menyusut. Selama ini kijang, rusa, kambing hutan hingga babi hutan yang merupakan satwa yang masuk dalam rantai makanan harimau.Tetapi kini harimau bersaing dengan manusia, yang juga ikut memburu hewan-hewan itu.

"Jadi ya bisa saja kemungkinan ketersediaan pakan harimau di dalam kawasan hutan lindung juga sudah berkurang," ucapnya.

Ketersediaan makanan bagi harimau di hutan terus berkurang karena makanan mereka juga diburu manusia (foto: ilustrasi).

BKSDA Sumsel Koordinasi dengan Pemerintah Provinsi

Dalam upaya mencegah terjadinya serangan harimau Sumatera terhadap masyarakat. BKSDA Sumsel telah berkoordinasi dengan pemerintah provinsi hingga kabupaten untuk melakukan penanganan terkait persoalan konflik harimau Sumatera dengan manusia. Misalnya, melakukan pemantauan terhadap pergerakan harimau hingga sosialisasi waktu batasan aktivitas masyarakat yang harus dihindari.

"Kami juga memasang box trap (kandang perangkap) dan camera trap karena di luar kawasan. Intinya harimau akan kami tangkap untuk dievakuasi ke habitatnya kembali karena sudah di luar kawasan hutan. Itu jangka pendek, kalau jangka panjang tentunya semua pihak terkait karena konflik ini habitat yang rusak sehingga perlu perbaikan habitat. Tapi perbaikan habitat harus melibatkan beberapa instansi terkait karena kawasan itu bukan kewenangan BKSDA Sumsel tapi Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel. Kami mendorong mereka untuk melakukan upaya penataan kembali terkait habitat tersebut," jelas Genman.

WALHI: Serangan Harimau Meningkat akibat Akumulasi Kerusakan Lingkungan

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumsel, M. Hairul Sobri mengatakan serangan harimau Sumatera terhadap manusia merupakan akumulasi dari kerusakan-kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh beberapa aktivitas seperti kegiatan pertambangan. Aktivitas tersebut diduga turut menjadi faktor penyebab hilangnya pakan alami harimau di habitat aslinya.

"Ada beberapa dampak sebenarnya yang kami lihat selama ini misalnya wilayah pertambangan. Dampaknya ini baru terlihat sekarang mengubah keseimbangan ekologis seperti pakan harimau sudah habis. Kami meyakinkan bahwa pertambangan terutama batu bara dampaknya itu sangat luar biasa. Faktor penyebab utama ini karena ada eksploitasi batu bara, dan perkebunan yang berlebihan di wilayah sekitar kawasan hutan lindung," ucapnya saat dihubungi VOA.

Kegiatan pertambangan batubara ikut merusak habibat bagi harimau Sumatera (foto: ilustrasi).

Kendati aktivitas pertambangan berada di pinggiran Bukit Barisan seperti wilayah Pagaralam, Lahat, dan Semendo. Namun, hal tersebut turut mempengaruhi ekosistem di Bukit Barisan. Pencemaran, hingga perubahan suhu lingkungan akan mempengaruhi rantai makanan harimau.

"Harimau sekarang harus beradaptasi untuk mencoba mencari makanan di luar wilayah jelajahnya," tutur Hairul.

Selain itu WALHI Sumsel juga menilai pemerintah provinsi tidak cekatan dalam mengatasi konflik harimau Sumatera dengan manusia. Alhasil, kejadian serangan harimau terhadap manusia terus kembali hingga berulang-ulang dalam kurun waktu dua bulan.

"Seharusnya kejadian pertama pemerintah sudah sigap seperti melakukan kajian. Pemerintah bisa melakukan sesuatu dari kajian tersebut. Sudah berapa kali kejadian baru mereka memasang camera trap, dan menganalisa jejak kaki harimau. Harusnya itu sudah lama, sehingga jika ada kajian tersebut pemerintah seharusnya sudah melakukan sesuatu misalnya melakukan penggiringan harimau ke habitatnya. Memastikan harimau berada di wilayah jelajahnya sampai sekarang kami belum melihat komitmen pemerintah sejauh itu," pungkasnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Akhir 2019, Serangan Harimau ke Manusia di Sumsel Meningkat


Lima Warga Tewas, Dua Luka-Luka Diserang Harimau

Kasus pertama serangan harimau terjadi pada 15 November 2019, di mana seorang wisatawan di kawasan wisata Tugu Rimau, Pagaralam, mengalami luka-luka. Esoknya 16 November 2019, harimau Sumatera kembali menyerang petani lokal di Kabupaten Lahat. Serangan harimau itu membuat petani bernama Wanto (53) tewas. Lalu, pada 2 Desember 2019, warga lokal di Dempo Selatan, Pagaralam, juga luka-luka akibat serangan harimau.

Beberapa hari kemudian, tepatnya 5 Desember 2019, seorang warga Dempo Selatan tewas diserang. Disusul seorang warga lainnya yang juga tewas diterkam harimau di perbatasan Kabupaten Muara Enim-Lahat, pada 12 Desember 2019.

Tidak sampai di situ, harimau Sumatera kembali menerkam hingga tewas masyarakat lokal bernama Suadi warga Kabupaten Lahat pada 22 Desember 2019. Teranyar, Sulistiowati (30) seorang warga di Kampung 5 Talang Tinggi, Desa Padang Bindu, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumsel, pada 27 Desember 2019, tewas usai diterkam harimau Sumatera. (aa/em)