Aksi di Taman Aspirasi, Monas, Jakarta Pusat itu diisi dengan orasi dan pembacaan puisi dari kelompok masyarakat sipil. Selama satu jam pertama aksi berjalan baik, hingga ketika sejumlah polisi mendekati peserta aksi dan mempertanyakan surat izin kegiatan tersebut.
Yohan Misero dari LBH Masyarakat mengatakan sudah mengirim pemberitahuan ke polisi sejak pekan lalu.
“Kami juga sudah menyampaikan kepada Intelkam Polri pada hari Jumat, dan pada hari Senin kami ke sana memeriksa ulang. Dan tidak ada masalah dari Intelkam Polri pada Jumat dan Senin tersebut,” ujar Analis Kebijakan Narkotika LBHM ini.
Your browser doesn’t support HTML5
Namun polisi bersikukuh acara itu butuh surat izin. Yohan mengatakan sempat dimintai keterangan selama 30 menit hingga akhirnya peserta aksi pun membubarkan diri.
Polisi, menurut Yohan, sedang meningkatkan pengamanan di sekitar Mahkamah Konstitusi (MK) yang tengah menguji sengketa Pilpres. Lokasi aksi memang hanya berjarak tiga menit jalan kaki dari MK. Namun demikian, seharusnya aksi ini tetap dapat dilaksanakan.
“Karena ada urusan pilpres dalam beberapa waktu ini. Tapi kami tidak menerima bagaimana intervensi polisi tadi. Karena aksi tetap bisa dilakukan walaupun situasinya seperti ini. Toh hari ini pun tidak ada sidang MK,” tambahnya kepada VOA.
“Penjara Bukan Solusi” Narkoba Konsumsi Pribadi
Dalam aksi ini, beberapa kelompok sipil mendesak revisi UU 35/2009 tentang Narkotika. Yohan mendorong penghapusan hukuman penjara bagi pengguna narkoba konsumsi pribadi—mereka harusnya mendapatkan rehabilitasi. Karena itu, pemerintah perlu merevisi UU yang menjerat tindakan tersebut.
“Kami juga mendorong parlemen untuk mencabut pasal-pasal pemidanaan narkotika dari Revisi KUHP. Karena pasal-pasal tersebut sesungguhnya akan menafikan upaya-upaya reformasi narkotika selama ini,” ujarnya.
Sejak menjabat tahun 2014 lalu, Presiden Joko Widodo telah secara terang-terangan menyatakan perang terhadap narkoba. Namun studi menunjukkan kebijakan ini gagal mengurangi penyalahgunaan obat-obatan tersebut. Yohan mengatakan, pendekatan itu harus segera diubah.
“War on Drugs sejauh ini hanya menghabiskan anggaran negara dalam konteks penegakkan hukum. Apalagi upaya pemasyarakatan ratusan ribu orang karena kasus narkotika sampai hari ini,” jelasnya.
Data Kementerian Hukum dan HAM pada September 2016 menunjukkan, lapas Indonesia sudah melebihi kapasitas hingga 172 persen. Dari total kapasitas 118.961 orang, jumlah napi dan tahanan mencapai 204.551 orang. Dari jumlah itu 66.626 orang adalah napi kasus narkotika, di mana yang teridentifikasi pengguna mencapai 24.915 orang.
Pemerintah Didorong Pakai Pendekatan “Harm Reduction”
Sementara itu, peneliti Intuisi Inc, Ingrid Irawati Atmosukarto, mengusulkan pemerintah menggunakan pendekatan “harm reduction” atau pengurangan dampak buruk.
“Mari kita sekarang merefleksikan apakah pendekatan kita kurang tepat. Itu yang kita tawarkan dengan pendekatan pengurangan dampak buruk atau “harm reduction” dengan membuka akses layanan kesehatan dan pemulihan kepada mereka,” ujarnya kepada VOA.
Irawati mengatakan, pemerintah dapat mengalihkan 10 persen anggaran perang terhadap narkoba untuk layanan kesehatan pengguna narkoba. Dengan demikian, semakin banyak pengguna narkoba yang direhabilitasi dan makin sedikit yang masuk penjara.
“Sehingga mereka menjadi warga negara yang produktif yang menyumbang bagi pembangunan bangsa. Dari pada pendekatan perang yang sekadar menembak, menempatkan mereka sebagai kriminal, dan memenuhi penjara-penjara di Indonesia yang saat ini sudah overcapacity,” kata Irawati menambahkan lagi.
Anggaran 10 persen itu, ujarnya, juga bisa digunakan untuk program edukasi bagi masyarakat. Sehingga semakin banyak orang yang mengetahui bahaya penyalahgunaan narkoba. [rt/em]