Sebuah bangunan oranye yang bagian depannya dipasangi papan yang dipenuhi tempelan guntingan tulisan “18 tingkatan manusia di akhirat” menyambut siapa pun yang datang. Kliping tentang jihad juga ikut mengisi papan itu. Pintu kayu berwarna coklat tertutup rapat dan tampak lengang. Jarak rumah ini dengan tempat pemakaman umum TPU Cemoro Kembar Mojo Solo yang dirusak sekelompok anak itu kurang dari 50 meter.
Kapolresta Solo, Kombes Ade Safri Simanjuntak, bersama rombongan tokoh agama dan perwakilan Pemerintah Kota Solo pekan lalu telah mendatangi rumah yang biasa digunakan untuk kuttab atau lembaga pendidikan dasar agama. Menurut Ade, polisi memeriksa puluhan saksi, termasuk pengelola kuttab, terkait aksi intoleransi sekelompok siswa rumah belajar itu.
"Sudah ada 23 saksi yang kita periksa, termasuk dari pengasuh Kutab Millah Muhammad, ada enam guru di kuttab itu. Kita juga periksa saksi dari perangkat desa, saksi yang memergoki para pelaku, kemarin kami sudah ke lokasi sekolah itu, aktivitas pendidikan atau pembelajarannya dihentikan sementara oleh pengasuh kuttab," ungkap Ade, pada VOA.
Pindahan dari Ngruki Sukoharjo
Juru bicara “Kuttab Milah Muhammad" Wildan kepada wartawan menegaskan melarang anak didiknya berada di dalam kawasan pemakaman. Menurut Wildan, aksi yang dilakukan kelompok anak didik di khuttabnya itu tindakan murni anak di luar jam sekolah dan bukan ajaran dari sekolah.
"Itu murni dari anak sendiri. Bahkan kami melarang anak-anak berada di lokasi pemakaman. Kami mengerti di lokasi itu banyak jin, bisa dengan mudah masuk ke jiwa anak. Namun namanya anak-anak, sudah dilarang seketat apapun, masa kita tegas sambil memukul, kami tidak seperti itu. Kami pakai pendekatan ke anak yang lebih baik. Anak-anak itu pandai cari waktu kosong ketika gurunya sedang istirahat atau sudah pulang, mereka ke makam,” jelas Wildan.
Lebih lanjut Wildan mengungkapkan sekolah, keluarga korban yang makamnya dirusak, keluarga kelompok anak hingga perangkat kelurahan dan aparat sudah melakukan mediasi kasus tersebut. Wildan meminta kasus ini tidak diperpanjang.
Wildan juga menambahkan “Kuttab Milah Muhammad” ini sedang mengajukan perizinan penyelenggaraan pendidikan ke instansi terkait.
Wildan menceritakan kuttab yang dikelolanya ini merupakan pindahan dari Sukoharjo. Menurut Wildan, kepindahan itu dilakukan karena sempitnya lahan.
"Sebelum pindah ke sini, kami berada di Ngruki Sukoharjo. Kami sewa tanah, bamgunan milik ummat, kami mendapat izin pakai dari pemilik selama setahun. Kemudian kami butuh lokasi lebih luas, kami menyewa di Solo ini,” ungkap Wildan.
Peringatan Perlunya Pembenahan
Pakar psikologi sosial Universitas Sebelas Maret UNS Solo, Abdul Hakim, kepada VOA, Minggu (27/6) mengatakan kasus intoleransi di kalangan anak itu sebagai alarm tanda bahaya pendidikan. Menurut Abdul Hakim, pola pengasuhan orang tua dan sekolah perlu dievaluasi secara mendasar.
"Level makro ini sebagai alarm pendidikan toleransi di usia anak. Saya pribadi menilai, oh masyarakat kita sudah sejauh ini tren pendidikan anak. Bentuk kenakalan itu kan kalau mereka mencoret bangku sekolah, merusak tiang lampu di jalan, anak-anak itu tahu itu tindakan salah. Lha ini mereka merusak makam simbol agama lain sebagai wujud saya anak soleh, sebagai sesuatu yang benar. Ini bukan bentuk kenakalan anak yang biasa,” jelas Abdul Hakim.
Lebih lanjut Abdul Hakim mengungkapkan penutupan sekolah yang mengajarkan intoleransi tidak akan efektif tanpa pendekatan sosial pada pola pikir orang tua dan sistem pendidikannya di sekolah.
Your browser doesn’t support HTML5
“Sekolah seperti ini ditutup ya akan muncul lagi bentuk lainnya. Yang perlu diintervensi itu orang tua anak dan sekolahnya. Kalau yang diintervensi anak, ya tidak ada pengaruhnya. Penelitian psikologi menunjukkan pola perubahan perilaku anak didik, itu lebih efektif ketika disampaikan oleh orang tuanya sendiri atau guru sekolah. Orang tua anak-anak itu harus ditemui satu persatu seperti apa pandangan hidup mereka, ekspektasi mereka ke anak," pungkas Abdul Hakim.
Dua belas makam Kristen di Solo dirusak sekelompok anak pada pertengahan Juni lalu. Salib dan simbol-simbol lain di makam itu dipatahkan dan dirusak. Polisi bergerak cepat. Sejumlah anak ditangkap dan dimintai keterangan, meski kemudian penyelesaian dilakukan secara kekeluargaan dengan alasan karena pelaku masih di bawah umur.
Namun Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang mendatangi langsung lokasi makam yang dirusak itu mengatakan tidak akan segan-segan menutup lembaga pendidikan anak-anak pelaku pengrusakan makam itu, jika sekolah itu terbukti mengajarkan sikap intoleran. [ys/em]