Aktivis Kebebasan Sipil Kecam Penindakan Mesir atas Ikhwanul Muslimin

Militer Mesir melakukan penindakan keras terhadap para pendukung Ikhwanul Muslimin di distrik Nasr City di Kairo (3/1).

Kelompok Ikhawanul Muslimin telah dinyatakan sebagai organisasi teroris, dan pemerintah Mesir juga menangkap empat wartawan Al Jazeera yang dituduh mendukung kelompok itu.
Dalam beberapa minggu terakhir ini, pemerintah Mesir yang didukung militer telah melakukan beberapa langkah baru untuk menindak Ikhwanul Muslimin. Kelompok itu telah dinyatakan sebagai organisasi teroris, dan pemerintah juga telah menangkap wartawan Al Jazeera yang dituduh mendukung Ikhwanul Muslimin.

Aktivis-aktivis kebebasan sipil mengecam langkah itu. Tetapi sebagian lainnya mengatakan, langkah itu diperlukan menjelang referendum konstitusional dan pemilu.

Walaupun sudah ada langkah-langkah baru untuk menindak Ikhwanul Muslimin, demonstrasi tetap berlanjut di beberapa kota dan universitas. Seorang analis Mesir mengatakan aksi penumpasan itu membawa hasil – dan demonstrasi untuk mengembalikan presiden terguling Mohammed Morsi ke jabatannya, semakin lama semakin kecil dan jarang terjadi.

Gamal Soltan – asisten profesor ilmu politik di Universitas Amerika di Kairo mempertanyakan label bahwa para demonstran adalah mahasiswa dan wartawan. Ia mengatakan rekonsiliasi antara Ikhwanul Muslimin dan pemerintah sekuler yang didukung militer untuk sekarang ini mustahil akan terjadi. Ia menambahkan kebijakan pemerintah adalah mengubah Islam politik dengan mengesampingkan Ikhwanul Muslimin tetapi mengijinkan kelompok-kelompok moderat seperti Al Nur – sebuah partai Islam yang bekerjasama dengan militer – untuk ikut serta dalam pemilu parlemen.

Said Sadek – asisten profesor sosiologi politik di Universitas Amerika mengatakan Ikhwanul Muslimin menggunakan demonstrasi dan kerusuhan untuk menggagalkan referendum itu.

“Jika jumlah pemilih yang ikut serta dalam referendum itu mencapai 25 juta dari 50 juta warga Mesir, maka jelas hal ini akan tamatnya riwayat Ikhwanul Muslimin dan rejim Morsi. Ikhwanul Muslimin telah berdiri sejak tahun 1928, kehancurannya akan menimbulkan dampak pada gerakan-gerakan lain di dunia Islam,” papar Sadek.

Baru-baru ini Presiden Sementara Mesir Adly Mansour menyarankan agar pemilu presiden diselenggarakan sebelum pemilu parlemen. Gamal Soltan mengatakan ini gagasan yang baik karena pemilu parlemen bisa memecah belah dan pertarungan elektoral membubarkan koalisi luas partai-partai yang mendukung peta jalan menuju demokrasi yang dipimpin militer. Gamal Soltan melihat pemilu presiden bisa menciptakan stabilitas menjelang pemilu parlemen.

Beberapa pihak lainnya mengecam transisi yang dipimpin militer.

Na’eem Jeenah – direktur eksekutif Pusat Afro-Timur Tengah di Johannesburg melihat adanya manipulasi politik di balik tanggal-tanggal pemilu tersebut.

Jeenah mengatakan tindakan keras terhadap Ikhwanul Muslimin yang dilakukan baru-baru ini tidak hanya menimbulkan dampak terhadap kaum Islamis, tetapi juga siapapun yang selama ini tidak setuju dengan penggulingan mantan Presiden Mohammed Morsi yang digulingkan oleh militer.

Ia menambahkan pertarungannya bukanlah antara kaum Islamis dan sekuler, tetpai antara mereka yang setuju dan yang menentang intervensi yang dipimpin militer.

Sementara, analis Mohammad Hamas Elmasry mengatakan jajak pendapat tetap menunjukkan bahwa masyarakat Mesir terpecah, dengan media yang mendukung pemerintahan sementara dan menolak rekonsiliasi.

Ia mengatakan media dan pemerintah sering mengatakan Ikhwanul Muslimin adalah pengkhianat dan tidak patriotik, serta memuji pembantaian pada demonstran Ikhwanul Muslimin. Elmasry menambahkan demokrasi tidak dapat berkembang dalam lingkungan peminggiran melalui undang-undang kerangka hukum yang represif dan dominasi militer.

Beberapa pihak lain mengatakan apa yang dibutuhkan Mesir adalah stabilitas dan evolusi, bukan revolusi. Mereka mengatakan pemerintah yang dipimpin presiden yang didukung militer dan parlemen multi-partai adalah langkah menuju arah yang tepat.
(William Eagle/VOA).