LSM: Kebijakan Pangan Indonesia Tidak Terarah

  • Wella Sherlita

Menurut LSM, 70 persen produksi pangan Indonesia dihasilkan oleh petani kecil.

Aktivis bidang pangan menganjurkan agar kebijakan pangan Indonesia sebaiknya kembali diarahkan untuk kesejahteraan produsen kecil.

Kebijakan pangan seharusnya dikembalikan pada arah untuk kesejahteraan produsen kecil, bukan hanya mengejar besaran angka produksi. Demikian menurut Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, kepada VOA. Terutama, tambahnya, menginat masih ada 19,2 juta orang yang rentan kelaparan dan tinggal di kawasan pedesaan, terutama di kawasan timur Indonesia .

Aliansi untuk Desa Sejahtera adalah gabungan LSM yang menyuarakan pemenuhan pangan bagi rakyat dan penguatan sektor perikanan. Pernyataan ini dikeluarkan dalam rangka Hari Pangan Sedunia,16 Oktober 2010.

“Paling tidak ada 19 juta orang yang rawan pangan, artinya kena gizi buruk atau makan tidak sesuai dengan kebutuhan. Ini kombinasi antara kebijakan dan implementasi dari kebijakan (yang tidak sinkron). Indonesia sebenarnya punya kebijakan ketahanan pangan yang cukup baik, sayangnya kebijakan Presiden SBY itu tidak diimplementasikan dalam Perpres (Peraturan Presiden) dan sebagainya. Akibatnya rawan pangan itu masih tinggi, terutama di NTT, Papua, dan Kalimantan,” jelas Tejo Wahyu Jatmiko.

Dalam peringatan Hari Pangan Sedunia di Roma, Italia, Jumat malam, disebutkan hampir satu milyar penduduk dunia hidup dalam kondisi kelaparan dan kekurangan gizi kronis.

Direktur FAO Jacques Diouf mengatakan hal ini terjadi akibat kurangnya investasi negara-negara berkembang dalam bidang pertanian. Produksi pangan harus naik sebanyak 70 persen, guna memenuhi kebutuhan penduduk yang kekurangan pangan.

Menurut LIPI, Varietas baru tanaman pangan perlu dikembangkan untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Namun, pernyataan ini kurang disambut baik oleh para aktivis dan peneliti pangan. Tejo Wahyu Jatmiko menilai penerapan kebijakan semacam ini dapat menjadikan Indonesia sebagai eksportir, tetapi tidak berpengaruh pada ketahanan pangan nasional.

“Secara umum pangan memang baru saja menjadi perhatian investor global, sebelumnya mereka lebih tertarik pada infrastuktur. Tetapi investasi ini sebetulnya tidak memperkuat ketahanan pangan kita, mereka hanya lihat mana yang menguntungkan di luar negeri. Apalagi 70 persen pangan kita dihasilkan oleh petani kecil, jadi jangan sampai ini menghancurkan ketahanan pangan kita,” ungkap Tejo Wahyu Jatmiko.

Para aktivis juga menduga keberpihakan terhadap investor asing akan dibungkus dengan kepentingan nasional, seperti program Merauke Food Estate di Papua.

Sementara itu, Deputi Kepala LIPI Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati, Profesor Endang Sukara, berpendapat pemerintah selayaknya memberikan kesempatan yang luas bagi para peneliti lokal, untuk mengembangkan varietas unggulan padi dan tanaman pangan lainnya.

“Sekarang kita bekerja dengan (varietas) padi Raja Lele, sebetulnya banyak genetik material di situ yang tahan terhadap kekeringan, dan tahan hama penyakit, bisa juga tahan genangan." Tetapi, tambah Profesor Endang, "Gen ini tidak terekspresikan. Maka dengan (metode penelitian) tagging (klasifikasi) dan aktivasi, dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, itu kita bisa menghasilkan galur-galur (lokasi tanam baru) harapan, dan ini akan bertambah dengan cepat."

Profesor Endang Sukara meyakini dukungan pemerintah pada penelitian jenis padi lokal akan mengurangi ketergantungan Indonesia pada impor pangan dan pinjaman luar negeri.